Pemberontakan di Indonesia Antara Tahun 1945-1965 - Pemberontakan di dalam Negeri terjadi karena dipicu oleh beberapa masalah berikut : (1) Keinginan untuk mendirikan Negara sendiri yang lepas dari RI, (2) Mempertahankan Negara agar tetap berbentuk Negara Federal, (3) Keengganan APRIS di Negara Bagian, bergabung dengan TNI dan menolak kebijakan pemerintahan Hatta untuk melakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi dalam tubuh militer yang menekankan profesionalisme. Berikut ini diuraikan satu persatu tentang pemberontakan yang membahayakan integrasi bangsa dari Indonesia merdeka tahun 1945-1965.  
PKI MADIUN 1948
Pada awal Januari 1948 Kabinet Amir Syarifudin dibubarkan.Presiden Sukarno menunjuk Muhammad Hatta untuk mengatur susunan kabinet baru. Namun Muhammad Hatta menyusun kabinet tanpa memasukkan seorangpun menteri dari golongan kiri(sosialis-komunis). Pada bulan Agustus 1948 Musso, salah seorang tokoh pendiri PKI kembali dari Moskow. Ia bermukim di Moskow sejak tahun1926. Kembalinya Musso ke Indonesia membuat kebijakan baru bagi PKI. Kebijakan ini sering disebut jalan baru
Musso9. Kebijakan Musso selanjutnya adalah menentang susunan kabinet Muhammad Hatta yang menurutnya telah menjual negara kepada imperialis Belanda. Pertentangan politik ini berubah menjadi insiden bersenjata. Front Demokrasi Rakyat (FDR) bentukan PKI semakin meningkatkan kegiatan pengacauan. Di Solo misalnya, terjadi pemberontakan antara FDR/PKI dengan lawan-lawan politiknya dan bahkan dengan TNI. Puncaknya adalah ketika PKI mengambil alih kekuasaan di Madiun. FDR/PKI lalu memproklamasikan berdirinya Negara Sovyet Indonesia pada 18 September 1948.  Selain di Madiun, PKI juga berhasil menguasai Pati, Jawa Tengah.  Di Pati PKI juga membentuk pemerintahan baru. Sementara itu Musso menyerang pemerintah dan mengatakan bahwa Sukarno-Hatta telah menjalankan politik kapitulasi kepada Inggris dan Belanda dan memprovokasikan bahwa negara tengah dijual kepada kapitalis. Pemerintah segera mengambil tindakan untuk menumpas pemberontakan PKI dengan melancarkan Operasi Militer I yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution. Pada tanggal 30 September 1948 Madiun berhasil direbut kembali oleh TNI. Dalam operasi itu, Musso berhasil ditembak mati, sementara Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. 
DI/TII
Pendirian Negara Islam Indonesia ( NII ) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949. NII atau juga dikenal sebagai Darul Islam yang artinya Rumah Islam diproklamasikan di Cisampah, Ciawiligar Tasikmalaya dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengah Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya dikatakan bahwa " Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam ". Lebih jelas lagi dalam Undang - Undangnya dinyatakan bahwa Negara Berdasarkan Islam dan Hukum yang tertinggi adalah Al Qur'an dan Hadits. Proklamasi Negara Islam Indonesia menyatakan kewajiban negara untuk memproduksi Undang-undang yang berlandasan syari'at Islam dan penolakan keras terhadap ideologi selain Al Qur'an dan Hadits Shahih yang mereka sebut " Hukum Kafir " sesuai dalam Qur'an Surah 5 Al-Maidah, ayat 145. NII atau DI dalam perkembangannya menyebar
kebeberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah SM Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi oleh TNI pada tahun 1962, gerakan ini terpecah namun tetap eksis secara diam-diam dan dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. 

APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil )
Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling bekas tentara KNIL, tujuannya agar pemerintah RIS dan Negara Pasundan mengakui APRA sebagai tentara negara Pasundan dan agar negara Pasundan tidak dibubarkan/dilebur ke dalam NKRI. Aksi Westerling dimulai pada tanggal 12 DEsember 1946, dengan melakukan penggeledahan rumah-rumah penduduk, dengan alasan mencari pemberontak dan mengancam rakyat untuk tidak melakukan perlawanan. Aksi ini menewaskan banyak korban, dan berdasarkan  laporan delegasi Indonesia untuk PBB, tercatat korban jiwa mencapai 20.00-40.00 jiwa. Ketika Westerling melakukan pembantaian, ada seorang pemuda yang bernama Robert Wolter Monginsidi yang berani melakukan perlawanan dengan cara gerilya melawan pasukan     khusus Westerling.
Peristiwa Andi Azis
Pemberontakan Andi Azis di Makassar, 5 April 1950. Pemberontakan ini bermula saat Dr. Soumoukil bersikeras untuk mendirikan atau mempertahanlan Negara Indonesia Timur. Pemerintah kemudian mengirimkan Batalyon Worang untuk menumpas gerakan tersebut, rupanya kedatangan batayon Worang tersebut membuat Dr. Soumoukil khawatir dan menghasut Kapten Andi Azis untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan tersebut meletus pada 5 April 1950 di Sulawesi Selatan dengan dipimpin oleh Kapten Andi Azis, yang merupakan mantan tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger ( KNIL ). Kapten Andi Azis bersama pasukannya menyerang pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia serikat ( APRIS ) dan menawan Pejabat Panglima Tentara Territorium Indonesia Timur, Letnan Kolonel Mokoginta beserta staffnya, sehingga kota Makassar bisa mereka kuasai. Untuk menguasai keadaan ini, pemerintah pusat pada tanggal 7 April 1950 mengirimkan pasukan TNI dibawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan mengultimatum Andi Azis agar segera menyerah dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, tapi Andi Azis menolak sehingga terjadi beberapa kali pertempuran. Pada tanggal 8 Agustus 1950 alhirnya ditandatangani persetujuan gencatan senjata antara kedua belah pihak, sehingga kota Makassar bisa dikuasai kembali dan pada 8 April 1953, Andi Azis dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun potong masa tahanan.
Republik Maluku Selatan ( RMS )
Pemberontakan Republik Maluku Selatan ( RMS ) di Maluku, pada 25 April 1950 di Ambon dengan tokoh pemberontak adalah Mr. Dr. Soumoukil. Pada tanggal tersebut di Ambon diproklamasikan berdirinya Republik Indonesia Maluku Selatan/ RMS dan menyatakan diri lepas dari Republik Indonesia Serikat oleh Dr. Soumoukil, bekas Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur. Untuk mengatasi pemberontakam tersebut, Kolonel Kawilarang menyerang hingga ke Kepulauan Buru yang dikuasai pemberontak hingga ke Pulau Seram bagian Utara. Serangan terhadap Pulau Ambon sendiri dilaksanakan pada 28 September 1950, dan dalam pertempuran tersebut benteng Victoria dapat direbut pasukan TNI pada 6 November 1950, sehingga pemberontakan RMS bisa digagalkan.

PRRI/Permesta
Pemberontakan PRRI/Permesta, pada tahun 1958. Penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dalam pembangunan daerah. Tidak meratanya pembangunan serta semakin melebarnya gerakan komunisme menjadi dasar bagi pemerintah daerah di Sumatera dan Sulawesi Utara untuk mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta atau lebih dikenal sebagai PRRI/Permesta. Di Sumatera, para pemimpin PRRI seperti Dr. Syafruddin Prawiranegara, Dahlan Djambek, Soemitro Djojohadikoesoemo dll, melakukan
pemberontakan sebagai koreksi atas kebijakan pemerintah pusat. Sementara di Sulawesi Utara, Permesta melakukan pemberontakan dengan ditunggangi kepentingan negara asing, dalam hal ini adalah Amerika Serikat, terbukti dengan ditembak jatuh pesawat AS yang dipiloti oleh penerbang Amerika bernama Pope. 
Gerakan 30 September 1965 

Peristiwa G30S baru dimulai pada tanggal 1 Oktober pagi, dimana kelompok pasukan bergerak dari Lapangan Udara Halim Perdana kusuma menuju daerah selatan Jakarta untuk menculik 7 jendral yang semuanya merupakan anggota dari staf tentara. Tiga dari seluruh korban yang direncanakan, mereka bunuh di rumah mereka yaitu Ahmad Yani, M.T. Haryono, dan D.I. Panjaitan. Ketiga target lain yaitu Soeprapto, S. Parman, dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup, sementara target utama mereka, Jendral Abdul Harris Nasution berhasil kabur setelah melompati dinding yang berbatasan dengan taman di kedutaan besar Iraq. Meski begitu, Pierre Tendean yang menjadi ajudan pribadinya ditangkap, dan anak putrinya yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani Nasution, tertembak oleh regu sergap dan tewas pada 6 Oktober. Korban tewas bertambah ketika regu penculik menembak dan membunuh seorang polisi yang menjadi penjaga rumah tetangga Nasution, Karel Satsuit Tubun. Korban tewas terakhir adalahAlbert Naiborhu, keponakan dari Pandjaitan, yang tewas saat menyerang rumah jendral tersebut. Mayat dan jenderal yang masih hidup kemudian dibawa ke Lubang Buaya, dan semua dibunuh serta mayatnya dibuang di sumur dekat markas tersebut. G30S baru berakhir ketika pada pukul 7 malam, pasukan yang dipimpin oleh Soeharto berhasil mengambil kembali kontrol atas semua fasilitas yang sebelumnya direbut oleh Gerakan 30 September. Ketika sudah berkumpul bersama Nasution, pada pukul 9 malam Soeharto mengumumkan bahwa ia sekarang mengambil alih tentara dan akan berusaha menghancurkan pasukan kontra-revolusioner dan menyelamatkan Soekarno. Ia kemudian melayangkan ultimatum lagi yang kali ini ditujukan kepada pasukan yang berada di Halim. Tidak berapa lama, Soekarno meninggalkan Halim dan tiba di istana presiden lainnya yang berada di Bogor. Untuk jasad ke-7 orang yang terbunuhdan dibuang di Lubang Buaya sendiri baru ditemukan pada tanggal 3 Oktober, dan dikuburkan secara layak pada tanggal 5 Oktober. Para pemimpin PKI kemudian dikumpulkan, beberapa dari mereka, termasuk Aidit, langsung dieksekusi. Lainnya diadili, banyak lainnya dieksekusi. Tentara pun menguasai media dan mengorganisir pemakaman dramatis dari para perwira yang terbunuh, menyulut api kemarahan terhadap PKI. Beberapa minggu sesudahnya, setelah tentara mendapat kepastian kekuasaan, pembunuhan mulai terjadi. Dalam empat bulan saja, 500 ribu orang tewas. Peristiwa Gerakan 30 September, kemudian mengakhiri kekuasaan Soekarno dan sekaligus menandai berakhirnya Demokrasi Terpimpin di Indonesia.[gs]