Sejarah Lengkap Orde Baru

Sejarah Lengkap Orde Baru - Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.  Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mulai berkuasa danmemperkenalkan sistem politik barunya yang disebut dengan Demokrasi Pancasila. Pemerintahan ini, secara formil berlandaskan adaPancasila, UUD 1945, dan Tap MPRS. Orde baru berencana merubah kehidupan sosial dan politik dengan landasan ideal Pancasila dan UUD 1945. Tahapan yang dijalani orde baru adalah merumuskan dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi Negara, sehingga pancasila membudaya di masyarakat. Ideologi pancasila bersumber pada cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang Negara yang bersifat persatuan. Sehingga pancasila diformalkan menjadi satu-satunya asas bagi organisasi kekuatan politik dan organisasi keagamaan-kemasyarakatan lainnya. Dan kesetiaan kepada ideologi-ideologi selain pancasila. Pada prakteknya banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan demokrasi pancasila, seperti rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pernah terjasi, kecuali yang terdapat pada jajaran yang lebih rendah, seperti Gubernur, Bupati atau Walikota, Camat, dan Kepala Desa. Selama Orde Baru hanya terjadi perubahan pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama. Rekruitmen politik tertutup, Pengisisn jabatan di Lembaga Tinggi Negara, seperti MA, BPK,DPA, dan jabatan-jabatan dalam birokrasi, dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan. Pemilu pada masa Orde Baru dilangsungkan sebanyak enam kali, dengan frekuensi yang teratur, yaitu lima tahun sekali. 

Tetapi apabila kita berbicara mengenai kualitas penyelenggaraannya, masih jauh dari unsur  demokrasi. Pemilu pertama sampai dengan yang terakhir, dibuat sedemikian rupa sehingga Golkar memenangkan pemilihan dengan mayoritas mutlak (afan Gaffar, 2001:33) Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkan UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana Golkar dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Selama Orde Baru, pemerintah melarang pembentukan partai baru dan juga melarang partai-partai politik membentuk kepengurusannya di pedesaan, serta melarang para pegawai negeri sipil serta militer menjadi anggota atau pengurus partai politik. Sejumlah larangan ini, bertujuan membebaskan masyarakat Indonesia dari pengelompokkan berdasarkan keberpihakan kepada salah satu partai, sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama. Namun, peraturan ini ternyata  menguntungkan Golkar, karena didalam UUD Golkar tidak disebutkan sebagai partai politik, tetapi mewakili golongan karya. Akibatnya, Golkar menguasai birokrasi pemerintahan, ABRI, dan wilayah pedesaan, melalui kepala desa yang berada dibawah koordinasi kementrian Dalam Negeri.  Selama orde baru, hak-hak politik warga negara tidak diberi tempat. Tidak ada kebebasan pers. Pemerintah melakukan control yang sangat ketat . Sementara itu, masyarakat yang mempunyai pendapat berbeda dengan pemerintah maka akan dicap sebagai makar dan dapat dipenjarakan.  Pada era Orde Baru, kebijakan luar negeri yang condong ke negara-negara blok Timur ditinggalkan oleh Soeharto. Sebagai langkah pertama, Indonesia masuk kembali menjadi anggota PBB. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk mencegah agar Indonesia tidak menjadi Negara yang terkucil dari masyarakat Internasional, dan juga sebagai langkah perdamaian dengan Malaysia. Perubahan politik luar negeri Indonesia, memang menghilangkan ketegangan dikawasan Asia, khususnya di Asia Tenggara. Apalagi ketika kawasan ini melahirkan sebuah organisasi regional, pada 8 Agustus 1967 yang dinamakan ASEAN di Bangkok Thailand.  Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada (Muis, 2000 : 23) Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada, maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperti di Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab. Tetapi pers pada masa Orde Baru kebebasannya sangat dikekang oleh pemerintah. Pers tidak diperbolehkan memberitakan mengenai berita miring yang berada di seputar pemerintahan, jika ada yang berani mengkritik atau mempublikasikan mengenai pemerintahan pada saat itu ada sebuah ancaman keras dan tentu juga akan mengancam penerbitannya. Selain itu adanya televisi sebagai pendukung kekuasaan pemerintah, misalnya saja stasiun televisi yang dikuasai oleh pemerintah yaitu TVRI. Di ranah media cetak, pemerintah dengan berbagai peraturannya membredel media yang berseberangan dengan pemerintah.  Juga poster, atau pamflet, bahkan grafiti sekalipun, yang bernada mengancam pemerintah akan segera ditindak. Apa yang mereka tulis atau mereka gambar dianggap menganggu stabilitas atau tindakan subversif.  Bentuk lain dari kekuasaan negara atas media pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. 
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, detik,  dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabatpejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benarbenar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah, dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang anti rezim Soeharto. Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan.Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut : (1)  Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, (2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan (3) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Pembangunan Nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga berjangka pendek, setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak enam kali.

Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional.  Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998. Pemerintah orde baru memperluas kekuasan mereka atas kehidupan sosial masyarakat melalui tentara. TNI memiliki struktur organisasi yang menempatkan mereka sampai ke desa-desa. Dengan begitu, TNI mengawasi dan mempengaruhi seluruh kehidupan sosial warga Negara. Mereka juga meyusup ke kelompok-kelompok sosial untuk memastikan bahwa tidak membahayakan Negara. Sementara itu, rakyat Indonesia makin tidak memiliki kesadaran akan politik, sehingga hubungan antar warga bersikap steril terhadap politik. Apalagi masyarakat lebih menggemborkan masalah pembangunan dan ekonomi daripada masalah politik. Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing  di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian  Bahasa Mandarin  dilarang meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.  Agama tradisional Tionghoa  dilarang, akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangandilakukan.Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.  Pemerintah mengontrol bidang kebudayaan yang dianggap bertentangan atau membahayakan kebudayaan Nasional akan dihapus. Selain itu juga mengontrol kerja dan produksi kebudayaan. Seniman tidak bisa  seenaknya menghasilkan karya seni, demikian juga puisi dan pementasan-pementasan seperti teater koma, harus ada izin tertulis dari aparat keamanan. [gs]