Runtuhnya Mataram

Runtuhnya Mataram Masa kejayaan Mataram terjadi pada masa kekuasaan Sultan Agung (16131646). Pada masa itu Mataram dua kali menyerang Batavia, yatu: pada tahun 1628 dan tahun 1629. Atas kegagalan itu Sultan Agung telah menghukum mati para panglimanya.
Sejak kegagalannya itu, Mataram mencoba mencari sekutu dengan mendekati Portugis dan India. Namun upaya itu dihentikan karena menurut penilaian Sultan Agung, kekuatan Portugis tidak akan mampu mengalahkan VOC. Setelah itu Mataram berbalik melakukan hubungan baik dengan VOC. Bagi VOC sendiri, berhubungan baik dengan Mataram jauh lebih menguntungkan daripada terus-terusan berperang. VOC memilih mengirimkan upeti ke istana Mataram sebagai tanda mengakui kebesaran Mataram di bawah Sultan Agung. Imbalannya armada Mataram menghentikan serangan-serangannya terhadap kapal-kapal dagang VOC.
Setelah Sultan Agung wafat, Mataram dikuasai oleh penguasa-penguasa yang lemah, bahkan kemudian sangat tergantung kepada VOC. Diawali oleh Amangkurat I dan Amangkurat II yang meminta bantuan VOC untuk menumpas perlawanan Trunojoyo. Ketergantungan pun semakin menjadi-jadi setelah kerajaan ini didera oleh intrik-intrik perpecahan di dalam istana serta pemberontakan dari pangeranpangeran di negara-negara bawahannya. Pada tahun 1704 misalnya, VOC membantu Pangeran Puger yang berselisih dengan raja Mataram Sunan Amangkurat III (17031708) yang merupakan keponakannya sendiri. VOC membantu Puger karena jauh lebih menguntungkan daripada Amangkurat III yang politiknya mulai menjauhi VOC bahkan disebut-sebut ikut melindungi pemberontak Untung Surapati. Pasukan gabungan VOC dengan Puger akhirnya berhasil memenangkan peperangan. Amangkuart III ditangkap dan dibuang ke Sri Langka.
Sebagai imbalan atas bantuannya, Puger yang kemudian bergelar Susuhunan Paku Buwono I (1704-1719) memberikan beberapa konsesi-konsesi seperti : (1) mengakui batas-batas Batavia, termasuk Priangan yang diajukan VOC, (2) menyetujui bahwa Cirebon merupakan daerah perwalian VOC, (3) mengakui kekuasaan VOC atas Semarang, (4) memberikan hak membangun benteng di mana saja di Jawa, dan (5) memberikan hak monopili atas perdagangan candu dan tekstil.

Pertentangan antara Pangeran Puger dan Amangkurat III terbukti bukanlah intrik-intrik terakhir yang terjadi di istana Mataram. Pertentangan di kalangan istana kembali mengguncang istana Mataram sejak tahun 1740-an sampai tahun 1750-an, terutama antara pihak Paku Buwono II, Pangeran Mas Said, dan Pangeran Mangkubumi. Akhirnya berdasarkan perjanjian Gianti (13 Februari 1755) Mataram dipecah menjadi dua, yaitu Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono dan Jogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang kemudian menggunakan gelar Sultan Hamangkubuwono. Beberapa tahun kemudian sebagian dari Surakarta dipecah menjadi Mangkunegaran. Demikian juga sebagaian Jogyakarta menjadi wilayah Pakualaman.[gs]