Raja-raja Jawa dan Kekuatan Barat

Raja-raja Jawa dan Kekuatan Barat Jatuhnya kota Malaka ke tangan Portugis, menyebabkan kota-kota lama di pesisir utara Jawa seperti Sunda Kalapa, Cirebon, Jepara, Pati, Kudus, Tuban, Gresik dan Surabaya, ramai dikunjungi para pedagang manca negara. Bahkan di beberapa daerah tumbuh pula kota dagang baru, antara lain Banten.
Para penguasa di Jawa melihat Portugis sebagai saingan dan ganjalan dalam perdagangan mereka. Jepara misalnya, melihat Portugis sebagai saingan utama dalam perdagangan lada yang kedua-duanya mengambil barang dagangan itu dari Maluku. Kemudian Demak sebagai pengekspor beras ke Malaka, menjadi rugi setelah kota tersebut jatuh ke tangan Portugis. Faktor-faktor inilah dan juga isu-isu perang agama yang mendorong Demak, Jepara dan Kudus bersatu untuk menyerang Malaka. Ekspedisi penyerangan dilakukan pada tahun 1513 di bawah Pati Unus. Konon ekspedisi ini terdiri dari 100 buah kapal perang serta membawa 5000 prajurit gabungan dari Jepara dan Palembang.. Namun ekspedisi itu dapat dikalahkan oleh Portugis. Kemudian pada tahun 1551 Jepara kembali mengirimkan ekspedisinya membantu Johor untuk menyerang Malaka Portugis yang juga berakhir dengan kegagalan. Pada tahun 1574 Jepara sekali lagi mengirimkan ekspedisinya mengepunga Malaka Portugis selama tiga bula. Namun juga tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Portugis di kota pelabuhan itu.
Kegagalan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara untuk merebut Malaka pada dasarnya karena kekuatan Islam di kepulauan Nusantara tidak mau bersatu melawan Portugis maupun Belanda (VOC). Bahkan di antara mereka juga saling mencurigai. Malaka sendiri akhirnya jatuh oleh serangan gabungan antara Johor-VOC.
Eksistensi kerajaan-kerajaan maritim Jawa dengan kekecualian Banten, tidak bertahan lama. Kebesaran mereka sebagai kekuatan maritim terus merosot bukan karena dikalahkan oleh kekuatan Portugis atau pun VOC, melainkan oleh kekuatan baru yang muncul di pedalaman Jawa, yaitu Mataram. Kerajaan ini yang berdiri sejak tahun 1575 terus menerus melakukan ofensif terhadap kerajaan- kerajaan maritim, khususnya di pantai utara Jawa, bahkan sampai ke Batavia. Bayangan kejatuhan Majapahit yang menghantui para penguasa di Mataram membuat mereka berupaya mematikan sumber-sumber pendukung politik dan ekonomi kerajaankerajaan tersebut, yang secara tidak langsung mematikan perdagangan laut mereka.
Kedatangan pedagang baru, termasuk VOC dan EIC (Inggris) seringkali mendatangkan harapan-harapan baru bagi raja-raja di Nusantara. Demikian pula sewaktu Belanda dan Inggris datang di akhir abad ke-16 disambut dengan baik. Banten misalnya mengijinkan VOC dan EIC membuka kantor dagangnya di kota pelabuhannya. Demikian pula Pangeran Jayakarta mengundang masuk VOC untuk membuka kantor dagangnya di kotanya. Namun politik monopoli yang dikembangkan VOC membuat penguasa Jayakarta merasa dirugikan. Lalu Pangeran Jayakarta bersekutu dengan EIC yang juga merasa dirugikan oleh VOC, untuk bersama-sama mengusir VOC. Di saat-saat kritis bagi kekuatan VOC di Jayakarta tertolong oleh tindakan raja Banten yang curiga atas tindakan Pangeran Jayakarta. Raja Banten menilai tindakan Pangeran Jayakarta membahayakan kedudukan Banten. Oleh karena itu Banten menangkapnya dan mengusir EIC dari Jayakarta. Dalam saat kekuatan Jayakarta kosong, armada VOC yang didatangkan dari Maluku datang menyerang Jayakarta. Kota itupun jatuh ke tangan VOC dan diubah namanya menjadi Batavia.

Setelah berhasil menguasai Batavia, J.P. Coen memindahkan kantor pusat dagang VOC dari Ambon ke Batavia. Namun untuk menguasai seluruh perdagangan di Nusantara, VOC harus menunggu waktu yang relatif lama. Di sebelah barat, Banten tampil sebagai salah satu kekuatan maritim di Jawa sekaligus sebagai saingan berat dalam perdagangan yang terus menerus menentang VOC seperti halnya Aceh terhadap Malaka-Portugis. Sementara tantangan dari kekuatan maritim di sebelah timur seperti, Surabaya, Pacitan, Pasuruan, Kudus, dan Demak relatif tidak ada karena kerajaan-kerajaan tersebut sedang menghadapi kekuatan Mataram.[gs]