Aceh dan Kekuatan Barat

Aceh dan kekuatan Barat Seperti telah disebutkan bahwa penguasaan kota Malaka oleh Portugis telah mengacaukan struktur perdagangan di Asia Tenggara, khususnya kepulauan Indonesia dan Semenanjung Melayu. Banyak pedagang Asia yang mengindari kota Malaka yang telah dimonopoli Portugis yang secara tidak langsung membuat peranan Malaka sebagai pelabuhan transit semakin merosot. Sebaliknya di beberapa daerah, terutama yang di jalur perdagangan baru, tumbuh dan berkembang kota-kota dagang baru, yang beberapa di antaranya berkembang menjadi pusat kekuatan politik baru di wilayah ini.
Aceh misalnya, pada tahun 1511 di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat masih merupakan satu pelabuhan kecil yang berada di bawah kekuasaan Pidie. Sewaktu Malaka direbut Portugis, sebagian besar komunitas dagang Asia berpindah ke Aceh. Penghidupan utama dari penduduknya adalah menangkap ikan (nelayan), dengan pekerjaan sampingan adalah merampok di laut, termasuk merampok kapalkapal Portugis. Dengan kekuatan sekitar 30 kapal (lankhara), Aceh di bawah Sultannya yang pertama, Ali Mughayat (?1514-1530) berhasil menyergap kapalkapal Portugis dan memperoleh meriam-meriam dari hasil rampokan tersebut. Dalam tahun 1530 diberitakan bahwa jumlah meriam yang dimiliki Aceh lebih banyak daripada yang meriam Portugis yang ada di benteng Malaka.
Dengan meningkatnya kekuatan dan persenjataan itu, Aceh menaklukan Pidie yang sebelumnya merupakan tuannya. Setelah itu Aceh memperluas hegemoninya ke selatan, ke Deli dan Sumatera Barat. Pada tahun 1524 Pedir dan Pasai berhasil dikuasai Aceh, setelah pasukannya berhasil mengusir garnisun Portugis yang ditempatkan di daerah itu. Kemenangan Aceh atas Portugis ini dilenggkapi lagi dengan keberhasilnnya mengalahkan armada Portugis di Aru. Kemenangan demi kemenangan itu telah memposisikan Aceh, tidak saja berhadapan dengan Portugis melainkan juga dengan Johor. Untuk sementara waktu Johor besama-sama dengan Indrapura mampu manahan ekspansi Aceh. Johor berhasil memukul mundur pasukan Aceh dari Aru dan menguasinya sekitar empat puluh tahun berikutnya. Satu hal yang perlu dicatat, daerah-daerah yang ditaklukan Aceh, umumnya merupakan daerah penghasil merica, emas, lada, dan produksi lainnya yang laris di pasaran dunia waktu itu.
Kesultanan Johor adalah adalah pusat kekuatan politik baru dinasti Melayu setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kesultanan itu berhasil mempertahankan eksistensinya dan mampu mempertahankan perdagangan internasionalnya. Dalam perkembangannya nanti, Johor bersekutu dengan VOC, terutama dalam menghadapi tekanan dari Kesultanan Aceh yang bersekutu dengan Portugis yang bercokol di Malaka. Sampai pertengahan abad ke-17 perdagangan di Selat Malaka dimainkan oleh tiga kekuatan, yaitu Portugis, Aceh, dan Johor. Namun Aceh berkali-kali menyerang Johor, terutama untuk merebut Aru, seperti pada tahun 1564 dan 1565. Pada tahun-tahun itu,Aceh di bawah Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (15371571) menyerang dan merampok Johor serta menawan rajanya Sultan Alaudin Riayat Syah I dibawa ke Aceh dan kemudian dibunuh. Kemudian pada tahun1613, kembali armada Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyerang Johor dan menangkap rajanya Sultan Alaudin Riayat Syah II (1597-1613) dan keluarganya, serta sekelompok pedagang VOC dan membakar benteng VOC di kota tersebut
Sultan Iskandar Muda tercatat sebagai penguasa terbesar di antara penguasapenguasa Aceh. Pada awal abad ke-17 ia berhasil membawa Aceh menjadi kerajaan maritim terbesar di wilayah Nusantara bagian barat. Kekuatan armada perangnya, serta armada dagangnya menjadikan mata uang mas Aceh (dirham) disukai dan diterima oleh komunitas pedagang Asia sebagai salah satu alat pembayaran yang sah dalam transaksi perdagangan di samping Real Spanyol, Rijkasdaalder Belanda atau Kepeng Cina.
Ofensif Aceh terhadap Malaka-Portugis dilakukan berkali-kali. Pada tahun 1614 armada Aceh berhasil mengalahkan armada Portugis di Bintan. Kemudian pada tahun 1617 Aceh merebut Pahang dan menawan rajanya Sultan Ahmad Syah. Setelah itu pada tahun 1620 giliran Kedah ditaklukannya dan tiga tahun kemudian, Aceh kembali merampok Johor. Namun baik Johor maupun Portugis tidak pernah menyerang balik ke Aceh. Ofensif militer Aceh baru terhenti setelah pada tahun 1629 armada lautnya menderita kekalahan besar di muka pelabuhan Malaka Portugis. Menurut laporan Portugis, Aceh kehilangan seluruh kapal perangnya berikut 19.000 prajuritnya (hilang dan tewas).
Setelah kekalahan itu, Iskandar Muda tidak pernah menyerang Malaka Portugis lagi Dua kali ia mengirim ekspedisi lautnya, namun kedua-duanya hanyalah untuk menumpas pemberontakan di Pahang. Meskipun Iskandar Muda berhasil menjadikan Aceh negara terkuat di bagaian utara pulau Sumatera, namun dia tidak pernah mengirimkan ekspedisi untuk menaklukan Lampung, Sumatera bagian selatan, yang merupakan daerah penghasil lada. Waktu itu Sumatera bagian selatan berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten.
Di pulau Sumatera Aceh secara terus menerus menentang kekuasaan Portugis dan Belanda. Oleh karena itu kesultanan itu dilihat oleh Portugis sebagai kekuatan Islam yang menentang kehadirannya. Satu fakta yang menunjang anggapan itu karena memang Aceh sering mengibarkan bendera Islam dalam peperangannya melawan Portugis dan VOC. Meskipun demikian tidak selamanya Aceh bertentangan dengan Portugis. Kadang-kadang Aceh juga mengadakan persekutuan dengan Portugis dalam menghadapi kesultanan Johor (yang Islam) atau persekutuan JohorVOC. Pada dasarnya konflik maupun persekutuan seperti di atas adalah soal yang lazim, karena kepentingan-kepentingan tertentu, tidak semata-mata karena alasan politis melainkan juga ekonomi.
Kebesaran kesultanan Aceh tidak hanya terletak pada kekuatan militernya semata, melainkan karena kemampuannya untuk menjalin hubungan diplomatic dunia Asia Barat, terutama Turki yang disebut oleh masyarakat Aceh sebagai Raja Rum. Dengan jatuhnya Aden ke tangan Turki Usmani di tahun 1538, penghidupan perdagangan merica ke Timur Tengah melalui Laut Merah yang sempat terhenti oleh kehadiran kekuatan maritim Portugis di Lautan Hindia, kembali berkembang. Dari beberapa negara Nusantara yang, kemungkinan besar hanya Aceh yang mempunyai hubungan internasional. Duta-duta Aceh tidak hanya sampai ke Istambul, Turki, tetapi juga mengunjungi raja-raja Eropa seperti Ratu Elizabeth dari Inggris, bahkan juga Pangeran Maurice dari Belanda. Di Asia sendiri duta Aceh antara lain berkunjung ke Moghul, India. Dari misi-misi diplomatik itu, hubungan dengan Turki yang paling membawa hasil yang tetap dan besar. Turki melihat kehadiran Aceh sebagai suatu kesempatan untuk memerangi Portugis-Spanyol di wilayah Timur atau dari belakang. Sebagai bukti dari perhatian itu, pada tahun 1567 Turki mengirimkan 500 orang pelatih artileri (meriam) ke Aceh beserta sejumlah meriamnya, antara lain meriam yang diberi nama “Lada sacupak” yang ukurannya sangat besar dan dianggap sebagai pusaka penting waktu itu. Di samping itu orangorang Turki mengajarkan cara membuat meriam kepada orang-orang Aceh. Di duga bantuan-bantuan militer itu dibayar dengan hasil perdagangan merica atau lada yang merupakan hasil ekspor Aceh yang utama dan menguntungkan.

Ada satu faktor yang membuat Aceh tidak mampu mengembangkan dirinya menjadi kerajaan besar di Nusantara, yaitu intrik-intrik di dalam istananya sendiri, baik di kalangan elit-elit pusat maupun di daerah. Setelah Iskandar Muda meninggal, peranan Aceh dalam politik maupun perdagangan terus merosot, sehingga memberi kesempatan kepada Johor untuk membenahi dirinya. Johor kemudian berhasil menegakkan kembali pengaruhnya di semenanjung Malaya dan kawasan selat bagian selatan.[gs]