Sejarah Politik Etis Hindia Belanda - Cultuurstelsel berhasil membawa Belanda keluar dari belitan kesulitan dan menikmati masa makmur bertahun-tahun setelah itu. Tidak demikian halnya dengan Hindia Belanda terutama penduduk pribuminya. Penduduk Hindia Belanda harus bekerja keras agar Hindia Belanda menghasilkan banyak uang yang dipakai sebagai jaminan hidup negeri Belanda. Garis kebijakan politik tersebut banyak menuai kecaman terutama dari kelompok humanis. Mereka berpendapat tidak seharus hal itu dilakukan, Belanda harus membayar kembali “jasa baik” yang telah diberikan penduduk Hindia Belanda. Van Dedem mengusulkan  dilakukannya pemisahan pembukuan agar dapat dihitung dengan jelas pemasukan dan pengeluaran dari Hindia Belanda karena selama ini tercatat jadi satu. Van Kol menyebut pengelakan pengakuan “jasa” Hindia Belanda sebagai politik immoral atau tidak tahu diri   De Waal menghitung jumlah hutang Belanda 236 juta gulden termasuk hutang VOC beserta bunganya, pengeluaran setelah 1800 oleh Belanda untuk Hindia Belanda. Sementara Hindia Belanda pada 1815-1863 menyumbang sebesar 507,5 juta gulden. Menurut perhitungan van Der Berg dari 236 juta gulden, beban Hindia Belanda paling banyak 96 juta, tetapi negeri Belanda mengambil lebih banyak sehingga pada 1884 Hindia Belanda masih berhak menerima 528 juta gulden, dan apabila diperhitungkan dengan bunga maka Hindia Belanda berhak menerima 1585 juta gulden (Notosusanto, 1984: 13)  Van Deventer dalam artikel yang dimuat dalam majalah De Gids tahun 1899 menyebutkan bahwa jutaan yang dihasilkan oleh Hindia Belanda sebagai Een Eereschuld (hutang kehormatan). Jumlahnya menurut van Deventer 823 juta gulden, tanpa memperhitungkan jumlah yang diperoleh sebelum1867 ketika masih dalam satu pembukuan. Setelah keluarnya Comptabiliteits Wet tahun 1867 pemisahan keuangan resmi dilakukan sehingga perlu pengembalian hasil yang dipungut sejumlah 187 juta gulden (Notosusanto, 1984: 14)  Kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda mendorong munculnya pemikiran “balas budi”. Pemikiran tentang balas budi tersebut sebagian besar muncul dari kalangan humanitarisme, sosial-demokrat danpolitik etis. Dalam pidato tahun 1901 Ratu Belanda menyatakan bahwa “negeri Belanda memiliki kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi dari penduduk Hindia Belanda”(Notosusanto, 1984: 35). Tekanan pada penduduk menunjukkan bahwa adanya pengakuan terhadap hak penduduk pribumi Hindia Belanda.

 Perkembangan perekonomian sekitar tahun 1900, yaitu penurunan keuntungan ekonomis dari komoditi kopi dan tebu karena serangan penyakit berhasil mempercepat perubahan haluan politik. Kemajuan pesat industry perkebunan sejak 1870 dengan jutaan keuntungan yang diperoleh justru memundurkan perusahaan-perusahaan pribumi. Dalam hal ini negeri Belanda harus memperhatikan kepentingan penduduk pribumi dan membantu mengatasi kesulitan di Hindia Belanda. Politik Etis dilaksanakan dengan pemberian bantuan sebesar f.40 juta gulden  Politik Etis membawa perubahan cara pandang terhadap Hindia Belanda.
Hindia Belanda adalah daerah yang harus dikembangkan sehingga dapat memenuhi keperluannya dan meningkatkan budaya rakyat pribumi. Politik Etis yang dimulai dengan politik kesejahteraan adalah akibat berbagai pemberitaan tentang kemerosotan hidup rakyat. Kuyper secara tegas menyatakan untuk mengganti system eksploatasi dengan sistem perwalian. Peradaban pribumi harus ditingkatkan, untuk itulah tugas missi yaitu “mengadabkan bangsa pribumi”  Selama periode 1900-1914 terlihat sikap “lunak” pemerintah colonial terhadap gerakan yang mengusung cita-cita kemerdekaan. Pemerintah colonial berusaha mencari wadah yang tepat agar keinginan-keinginan colonial dan pribumi dapat berdampingan untuk mencapai suatu kesatuan politik. Sampai tahun 1925 pemerintah colonial telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menunjukkan “kepercayaan” kepada pihak pribumi melalui desentralisasi, perubahan pemerintahan, perbaikan kesehatan masyarakat, emigrasi, perbaikan pertanian dan peternakan, pembanguan irigasi, dan lalu lintas (Notosusanto, 1984: 40)
Upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah colonial Hindia Belanda selain karena tuntutan Politik Etis juga untuk memenuhi kebutuhannya sendiri yang semakin menuntut efisiensi. Demi menjaga keuntungan besar yang diinginkan tanah jajahan harus menyesuaikan diri dengantuntutan komunikasi dan transportasi yang luas dan cepat. Peningkatan kesejahteraan penduduk pada gilirannya juga akan meningkatkan pendapatan pemerintah karena perputaran uang yang makin menjangkau masyarakat luas membawa keuntungan tersendiri bagi lembaga-lembaga keuangan. Pemerintah colonial Hindia Belanda dalam sepuluh tahun pertama 1900-an mengeluarkan berbagai peraturan guna mempercepat peningkatan kesejahteraan penduduk. Lembaga-lembaga yang memudahkan penduduk pribumi untuk memperoleh dan menyalurkan uangnya didirikan seperti bank perkreditan, pegadaian, lumbung desa, bank koperasi, sementara kerja paksa atau rodi berangsur-angsur dihapuskan. Di bidang pendidikan terjadi peningkatan jumlah sekolah dengan signifikan. Meskipun tujuan pendirian sekolah adalah untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik dan murah sekolah berhasil menjadi sarana pemunculan kesadaran akan hak dan persamaan hak. Sekolah yang didirikan pemerintah colonial pada awalnya hanya untuk kalangan Eropa dan Belanda, kemudian terbuka untuk para anak bangsawan. Politik Etis dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan penduduk pribumi berhasil memunculkan sekolah-sekolah rakyat untuk kalangan bangsawan rendahan sehingga transformasi pemikiran modern menjangkau rakyat pribumi. Pada akhir abad ke-19 terdapat 721 sekolah rendah dengan jumlah murid 131.000. Tahun 1907 Sekolah Kelas 2 (sekolah ongko loro) diperluarsdengan didirikannya Sekolah Kelas 1 (sekolah ongko siji) yang telah mengajarkan bahsa Belanda. Dan pada tahun 1912 Sekolah Kelas 1 diubah menjadi HIS (Holland Inlandsche School) yaitu sekolah dasar untuk anak pribumi dengan bahsa pengantar bahasa Belanda. Demikian juga untuk jenjang pendidikan di atas SD perluasan pendidikan juga dilakukan secara berangsur-angsur, tahun 1902 STOVIA (sekolah dokter Hindia), tahun 1913 didirikan NIAS (Nederlandsch Indiesche Artsen School: sekolah kedokteran). Tahun 1927 STOVIA secara berangsur-angsur ditransformasikan menjadi sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) dan pada 1936 STOVIA dihapus sehingga sekolah kedokteran tinggal NIAS (Ricklef, 2001: 329-334)

Perluasan pendidikan di kalangan pribumi meningkatkan jumlah pribumi terdidik yang secara tidak langsung meningkatkan kesadaran identitas. Kaum terdidik berusaha menyebarluaskan gagasan-gagasan itu melalui beragam saluran, dan salah satunya adalah pers atau surat kabar. Surat kabar telah dikenal di Hindia Belanda sejak 1800, tetapi semuanya masih diterbitkan dalam bahasa Belanda sehingga pembacanyapun sangat terbatas. Perluasan pendidikan pribumi dengan pengantar bahasa Melayu memunculkan surat kabar berbahasa Melayu. Keberadaan surat kabar berbahasa Melayu mempercepat dan meluaskan penyebaran ide-ide kebangsaan. Kesejahteraan rakyat yang menjadi sasaran Politik Etis termasuk hal kesehatan rakyat. Bidang ini menjadi tanggungjawab Dinas kesehatan Umum dan bagian dari Departemen Pendidikan. Beberapa hal yang dilakukan berkenaan dengan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit menular yang harus dilakukanoleh pegawai pemerintah. Sebelum adanya dokter Jawa pada tahun 1851 selaku petugas kesehatan adalah para pamong praja, mereka itu yang melakukan pencacaran dan penyuntikan apabila terdapat suatu wilayah yang penduduknya terinfeksi. Akibat wabah cacar tahun 1911 pemerintah mulai mendirikan rumah sakit, apotik, dan dilakukan gerakan pencacaran oleh para dokter dan mantra. Hasilnya adalah menurunnya angka kematian penduduk menjadi tidak lebih 20 kematian tiap 1000 penduduk Secara tidak langsung kebijakan-kebijakan Politik Etis memunculkan elite intelektual baru yang memahami identitasnya serta sangat menyadari keterbelakangan masyarakat pribumi. Gerakan-gerakan yang kemudian dimunculkan kelompok intelektual ini melalui pertemuan, perdebatan, rapat terbuka, pidato dan lain-lain  merupakan kekuatan sosial baru  Lahirlah pergerakan nasional di seluruh penjuru Hindia Belanda. Gerakan ini membuka mata pemerintah colonial Hindia Belanda akan munculnya kekuatan baru yang berasal daridalam dan memiliki cita-cita hidup bebas (kemerdekaan). Bahwa gerakan itu kemudianada yang menjadi radikal karena diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda dengan pemerintahan kolonialnya sementara cita-cita kemerdekaan dimotivasi oleh kesejahteraan yang dicita-citakan.[gs]