Perlawanan Bangsa Indonesia Sebelum Abad Ke-20 – Sahabat sekalian pada kesempatan kali ini Guru Sejarah akan share artikel mengenai Perlawanan Bangsa Indonesia Sebelum Abad Ke-120. Simaklah
1. Persaingan Perdagangan
Ketika VOC memasuki perairan Nusantara kongsi itu dihadapkan pada suatu system perdagangan Asia Tenggara yang telah mapan berupa perdagangan internasional dengan system terbuka. Transasksi perdagangan mengikuti suatu peraturan yang telah lama berkembang di kawasan tersebut. Komoditi utama perdagangan Nusantara adalah rempah meskipun komoditi lainnya sama pentingnya. Kain didatangkan dari India dan Cina dibawa oleh pedagang Gujarat, Benggali dan Cina. Sedangkan komoditi pertanian dan rempah didominasi beragam suku di Nusantara, terutama beras dipegang oleh Jawa. Jaringan transportasi atau jalur pelayaran Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan jaringan transaksi perdagangan, sehingga keduanya memiliki fungsi strategis. Penguasaan jaringan pelayaran berarti pula penguasaan jaringan perdagangan. Garis pelayaran Malaka-Maluku adalah struktur pelayaran yang berfungsi sebagai jalur perdagangan yang optimal di Nusantara, jaringan ini diperkuat oleh jaringa-jaringan atau subsistem yaitu pelayaran local antar pulau sebagai pendukung.
Menghadapi kenyataan itu VOC berusaha menguasai jaringan dengan menduduki pusat perdagangan rempah Maluku kemudian Malaka. Tidak mudah bagi VOC menerapkan monopoli karena para penguasa pribumi meskipun telah ditundukkan tidak mematuhi peraturan yang ditetapkan VOC bahkan menciptakan jaringan baru. Jalan yang ditempuh VOC unutk mewujudkan ambisinya yaitu melarang kapal-kapal pribumi mengangkut komoditi dagang Portugis, menghentikan ekspor rempah-rempah dan yang lebih dramatis melakukan penebangan terhadap pohon-pohon lada (pala dan cengkih). VOC juga melakukan pembatasan perdagangan dengan bangsa Asia tetapi hal itu tidak efektif karena VOC kekurangan kapal untuk memantau pembatasan itu. Sementara membeli rempahrempah dengan mata uang logam hanya memindahkan transaksi kain ke Portugis, memborong kain dari Inggris dan Portugis untuk dijual kepada pedagang pribumi tidaklah mungkin karena keterbatasan sarana pengangkutan, sementara rempahrempah yang harus diangkut cukup banyak. Dihadapkan pada dilemma yang akhirnya tetap tidak menguntungkan VOC akhirnya praktek kekerasan dijalankan. Terhadap penguasa pribumi yang menolak bertransaksi dengan VOC, maka akan dilakukan penghancuran. Bagaimanapun tindakan itu tetap tidak efektif, karena pasar rempah-rempah kemudian berpindah ke Makasar. VOC berusaha menarik pedagang bangsa Asia ke Bandar Ambon agar dapat menarik pajak perdagangan. Semua upaya “legal” yang dilakukan VOC tidak membawa hasil karena pada dasarnya VOC menginginkan konsep monopoli sepenuhnya, hal itu tentu tidak disukai pedagang lain karena merugikan merek. Persaingan dengan para pedagang Eropa yang lain mulai berkurang dengan kemenangan yang diperoleh Belanda yaitu dengan berhasil dikuasainya Maluku tahun 1613, menyusul Malaka pada tahun berikutnya. Sementara dengan Inggris Belanda tidak berkonfrontasi secara terbuka karena Inggris telah berhasil menguasai India. VOC masih harus menghadapi kerajaan pribumi yang masih cukup kuat menguasai jaringan perdagangan yaitu Mataram, Makasar dan Aceh. Penetrasi VOC ke dalam jaringan perdagangan di nusantara menimbulkan konflik dengan pusat - pusat perdagangan yang berperan sebagai entreport, emporium atau “perantara” di tengah jalan jaringan Maluku dan Malaka. Salah satu mata dagang penting adalah beras yang dipegang oleh para pedagang Jawa yang berasal dari Gresik, Jaratan dan Surabaya. Keberadaan VOC dengan kebijakan monopoliya merupakan ancaman bagi pusat-pusat perdagangan begitu pula sebaliknya VOC memandang dominasi para pedagang tersebut harus dipatahkan. Selain harus berhadapan dengan pedagang nusantara VOC juga harus menghadapi parapedagang Asia (Cina, India, Bengali, Keling, Gujarat). Seperti halnya pedagang nusantara pedagang Asia itu juga menguasai komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar dagang Asia Tenggara. Tingginya nilai komoditi non rempah tersebut membuat VOC mempertimbangkan untuk memasukkan komoditi tersebut dalam jaringan monopoli perdagangan VOC.
Oleh sebab itu VOC pada tahun 1624 mendirikan benteng Zeelandia di Formosa, membangun loji di pulau Deshima dekat Nagasaki pada 1647, membangun pos dagang di Siam (1607), Kambodia (1620), Annam (1636), Tonkin (1637), Arakan (1610). Juga membangun kantor dagang di India yaitu di Gujarat, Surat, Baroda, Ahmadabad, Jalalpur pada 1604, kemudian Mauritius (1638) dan Tanjung Harapan tahun 1647 (Chauduri, 1989: 87-95).
2. Persaingan Politik Kerajaan Pribumi
Pasar utama perdagangan rempah-rempah di bagian timur nusantara adalah Makasar. Makasar sebagai pasar bergantung secara keamanan kepada kerajaan tetangganya Gowa dan Tallo, sementara kedua kerajaan tersebut mengandalkan Makasar sebagai ruang hidup mereka karena Makasar merupakan pasar penting bagi komoditas hasil pertanian mereka. Kepentingan bersama tersebut yang membawa ketiga kerajaan itu secara bersama menciptakan kondisi yang memaksimalkan perdagangan baik untuk wilayah sekitarnya maupun perdagangan internasional. Kedudukan Makasar sebagai entreport sangat bergantung pada keberadaan rempah-rempah yang berasal dari Maluku, Seram dan Ambon dan produksi beras serta bahan pangan lain dari pulau-pulau lain, sehingga sangat dapat dipahami apabila dinamika sejarah nusantara bagian timur sangat ditentukan oleh factor tersebut. Rempah menjadi mata dagang penting, sehingga siapa menguasainya ia dapat mengendalikan perdagangan. Inilah yang memicu konflik Ternate-Tidore dengan Portugis, kemudian Ternate dengan VOC menyusul Makasar dengan VOC. Dari sudut pandang VOC kedudukan Gowa-Tallo mengancam kedudukan VOC yang sedang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah. Konflik tersebut tidak menguntungkan Makasar maupun Malaka karena satu dengan lainnya ada ketergantungan, gangguan terhadap salah satu Bandar akan mempengaruhi Bandar yang lain. Sementara factor intern kerajaan itu sendiri tidak dapat diabaikan. Rivalitas kerajaan-kerajaan local tidak jarang dimanfaatkan oleh pihak VOC untuk menarik keuntungan bagi mereka. Persaingan diantara kerajaan pribumi yang berkepanjangan membuka ruang bagi VOC untuk memajukan kepentingan kepentingannya dengan cara memihak salah satu dari mereka. Di Sulawesi persaingan terjadi diantara kerajaan Makasar, Gowa, Talo, Bone, Wajo dan Sopeng. Kadang pada suatu masa terjadi juga aliansi dari beberapa kerajaan tersebut apabila mengahadapi ancaman atau memiliki kepentingan sama. Kerajaan-kerajaan kuat seperti Gowa, Bone dan Makasar saling bersaing untuk meraih hegemoni atas kerajaan-kerajaan lain, dalam beberapa hal keinginan itu tercapai tanpa adanya konflik terbuka tetapi tidak selalu demikian. Keinginan Gowa untuk terus memegang hegemoni selalu ditentang oleh Bone, akibatnya Gowa dengan bantuan Wajo dan Sopeng melakukan serangan atas Bone pada 1643 (Notosusanto, 1984: 41-42)
Perkembangan perdagangan internasional dan ancaman rivalitas baik dari kerajaan saingan maupun VOC, memaksa bandar-bandar besar melindungi perdagangannya dengan kapal-kapal perang. Kapal-kapal perang dikirim untuk melancarkan ekspedisi “pengamanan” dari armada-armada pesaing. Pada tahun 1641 Makasar mengirim 36 kapal untuk beroperasi di Maluku, Seram dan Ambon. Akhir tahun 1653 kapal angkatan laut VOC harus menghadapi 19 jung Makasar di perairan antara Makasar dan kepulauan Maluku. Tahun 1666 makasar memiliki 600 kapal yang ditempatkan di Butung, ketika terjadi konflik dengan VOC Makasar mengerahkan 450 kapal dan 200 kapal berhasil disita VOC (Ricklefs, 2001: 144-14). Peristiwa yang sama terjadi di Jawa. Ekspansi Mataram dimulai dengan menghacurkan kota-kota pesisir yang merupakan lawan utamnya, sebuah strategi yang kelak menjadi boomerang untuk Mataram karena pesisiran adalah sumber kekayaan dan tulang punggung pemerintahan seperti telah diperlihatkan para pendahulunya yaitu Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Malaka, Makasar dan sebagainya. Serangan Mataram atas kota-kota pesisir membuat para pedaganag Jawa mengungsi ke Bandar-bandar lain seperti Banten, Banjarmasin dan Makasar. Munculnya pusat perdagangan baru yang secara tidak langsung akibat kebijkakan politik Mataram kemudian menjadi saingan dan oposan terhadap Mataram. Factor lain yang tidak dapat diabaikan dalam kasus Jawa adalah munculnya despotism dan tirani, pertentangan di kalangan keluarga di dalam keraton, pemberontakan dan perebutan tahta. Semua itu merongrong kerajaan, melemahkan dari dalam sehingga bangunan kerajaan menjadi rapuh, akhirnya hanya memudahkan VOC melakukan penetrasi dan membatasi Mataram menjadi kerajaan agraris tanpa akses keluar (pelabuhan). Pertengahan abad ke-17 sampai tahun-tahun akhir abad ke-17 Mataram menghadapi konflik “dalam negri” yang tidak dapat diabaikan oleh VOC. Amsangkurat 1 pengganti Sultan Agung memiliki program kerja yaitu, konsolidasi kerajaan, sentralisasi system administrasi dan keuangan, dan menumpas segala bentuk perlawanan (pemberontakan). Dalam hal ini Amangkurat mencoba membuat Mataram sebagai kerajaan yang bersatu dengan sumber pendapatan yang berada di bawah kendali raja. Akibatnya ialah terjadi pengucilan terhadap kelompok atau orang yang berpengaruh dan daerah-daerah penting, hal itu justru memunculkan pemberontakan. Amangkurat I berusaha untuk menguasai wilayah pesisir dan mencoba memonopoli pedagangan hanya dengan VOC. Tujuan dari kebijakan itu adalah (1) menjamin supaya pajak dari perdagangan daerah pesisir langsung tersalur ke istana; (2) menegakkan kembali hubungan vassal VOC yang memuat keyakinannya telah ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1646; (3) menerima hadiah-hadiah VOC yang dapat meningkatkan kemegahan dan keagungan istana; (4) menerima uang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang kronis di kerajaannya. Tujuan itu akan tercapai apabila Amangkurat melenyapkan otonomi daerah pesisir dan memaksa VOC bertransaksi langsung dengan istana (Nagtegaal, 1996: 58-64). Kerajaan Mataram mulai mengalami disintegrasi. Amangkurat telah lanjut tetapi kebijakan kekerasan dan “pembersihan” terus berlanjut. Tahun 1674-1675 berjangkit penyakit dan kelaparan, muncul penanda tidak baik yaitu gunung Merapi meletus (1672), gempa bumi beberapa kali, gerhana bulan, dan hujan turun tidak pada musimnya. Dalam tradisi Jawa penanda alam yang muncul tidak sesuai dengan kebiasaan merupakan tanda akan munculnya suatu kejadian yang membawa akibat buruk. Dalam keadaan demikian akan percuma melawan “takdir” yang telah digariskan. Kebijakan politik otoritarian tentu saja akan menimbulkan gelombang ketidakpuasan dan berakhir dengan gerakan pemberontakan. Meskipun dalam banyak hal istana masih dapat mengatasi pemberontakan tetapi konflik diantara para bangsawan istana tidak pernah berakhir. Beberapa konflik bersifat regional seperti kasus Madura dan daerah pesisir timur laut. Akar masalah itu sendiri telah terjadi sejak akhir abad ke-16 yaitu masa awal berdirinya Mataram dan semakin parah ketika Amangkurat I memerintah dengan tangan besi. Konflik itu adalah konflik para bangsawan istana dan menyangkut masalah legitimasi karena dengan kekejamannya, pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan, usaha-usahanya untuk menghancurkan otonomi regional, dan ketidakmampuannya menggunakan kekuatan militer, Amangkurat I telah menghancurkan permufakatan para pembesar yang sangat penting artinya bagi legitimasi dan pemerintahan yang efektif.
3. Campur Tangan VOC
Sejak pertengahan abad ke-17 sampai tahun-tahun terakhir abad tersebut terjadi banyak konflik pada kerajaan pribumi Jawa yang tidak dapat diabaikan oleh VOC di Batavia. Pada sudut pandang VOC kasus-kasus itu sama dengan hal serupa di Maluku. Kerajaan-kerajaan itu merupakan sumber utama lada bagi VOC, di kerajaan – kerajaan itu juga tinggal orang Eropa non Belanda yang merupakan pesaing Belanda, wilayah kerajaan yang dekat dengan laut, dan gejolak pada kerajaan-kerajaan itu dapat membuat Batavia terganggu.
Dibanding kerajaan lain Mataram adalah masalah yang berbeda bagi VOC. Mataram punya arti penting tidak hanya karena ekspor utama VOC berasal dari kerajaan itu tetapi juga karena hidup VOC sangat tergantung padanya. Mataram adalah pemasok beras bagi bagi VOC dan sekutunya, juga karena kayu terutama jati yang sangat dibutuhkan VOC untuk memperbaiki dan membuat aramada serta untuk membuat rumah dan gedung. Namun demikian Mataram juga ancaman yang potensial bagi VOC, pedalaman Mataram yang menyediakan sumber daya melimpah merupakan tulang punggung yang menjamin kelangsungan kerajaan tersebut meskipun seluruh wilayah pesisir uatara Jawa dikuasai VOC. Karena itu VOC sangat berkepentingan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan Jawa, misalnya pada kasus Trunajaya. Perseteruan Amangkurat I dengan Putra mahkota yang dibantu Trunajaya telah melibatkan VOC dalam konflik tersebut. Akibat kekurangan sumber daya, pihak putra mahkota dan Trunajaya meminta bantuan VOC meriam, mesiu dan perlengkapan perang lainnya. VOC sangat berkepntingan terhadap stabilitas dan keamanan di daerah pesisir utara agar perdagangan dapat berjalan baik tanpa gangguan. Atas kepentingan itulah akhirnya pada 1676 Batavia memutuskan melakukan mediasi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Laksamana Speelman diiringi 1500 prajurit dikirim untuk misi tersebut. Tugas utamanya adalah mencarai pemecahan masalah secara damai, ia dan pasukannya dilarang memasuki wilayah pedalaman. Keputusan itu diambil VOC karena pada saat yang sama Belanda juga harus menghadapi kasus-kasus perlawanan dari orang-orang Melayu, sementara Banten menunjukkan dan Negara-negara pribumi lain juga menunjukkan tanda perlawanan. Jadi VOC harus menghitung dengan tepat penggunaan sumber daya militernya. Ternyata apa yang
harus dihadapi VOC tidak sesederhana itu. Berdasarkan perjanjian bulan Februari 1677, yang diperkuat pada bulan Juli 1677, terjadi persekutuan antara Amangkurat II (putra mahkota) dengan VOC. Awalnya raja ragu unutk mempercayai sekutunya, tetapi pada bulan Septemberakhirnya ia bersedia unutk pergi dari Tegal ke Jepara yaitu markas Speelman dan pasukannya. Speelman berhasil memukul mundur pemberontak. Operasi militer itu memerlukan biaya yang cukup besar dan menjadi hutang baru bagi Mataram. Pada waktu itu, hutang kerajaan kepada VOC untuk biaya-biaya militernya sudah sangat besar, dan raja tidak mempunyai kekayaan yang dapat dipakai untuk membayar kembali hutang tersebut. Oleh karena itulah, maka pada bulan Oktober 1677 dan Januari 1678 dia membuat perjanjian-perjanjian baru. Kini VOC dijanjikan untuk mendapatkan penghasilan dari hasil pungutan pajak pelabuhan-pelabuhan pesisir sampai hutangnya lunas, hak monopoli pembelian beras dan gula, hak monopoli atas impor tekstil dan candu, dan pembebasan dari cukai. Semarang dijanjikan raja untuk diserahkan kepada VOC serta mengakui kekuasaan Batavia yang membentang ke selatan sampai samudra HIndia serta
seluruh dataran tinggi Priangan (Ricklef, 2001: 176). Hal itu membuat Speelman ingin melancarkan misi ke pedalaman, tetapi pihak Batavia tetap menolak. Tahun 1678 ketika Direktur Jendral Rijklof van Goens menggantikan Gubernur Jendral Maetsuycker yang meninggal dunia dan Speelman sendiri menggantikan posisi van Goens terbukalah realisasi dari keinginan Speelman untuk menguasai pedalaman Jawa. Anthonio Hurdt yang mengggantikan posisi Speelman di Jepara adalah ujung tombak operasi-operasi militer Batavia yang agresif. VOC memiliki pasukan militer yang kuat, terlatih, dipersenjatai dengan baik dan memiliki disiplin tinggi. Tetapi VOC juga menghadapi banyak kesulitan yaitu tidak mengenal medan tempur, perbekalan kurang baik, sering terserang penyakit, rentan ditinggalkan sekutu-sekutu pribuminya, serta keberadaan konflik internal dalam pasukan maupun antara komandan lapangan dengan para pejabat di Batavia. Oprasi-oprrasi militeryang digelar mengakibatkan kerugian yang cukup besar dan memakan biaya yang besar pula. Kemenangan-kemenangan berhasil diraih apabila banyak sekutu pribumi yang memihak kepadanya. Pasukan VOC adalah pasukan yang dipersiapkan untuk pertempuran medan datar seperti halnya di Eropa, pasukan VOC tidak disiapkan untuk bertempur di medan pegunungan yang sering merupakan keunggulan musuhnya. VOC disiapkan untuk bersikap defensive, VOC melindungi seorang penguasa atas dasar bayaran dan konsesi. VOC akhirnya berhasil menumpas pemberontak-pemberontak, akan tetapi dia gagal mempertahankan kestabilan dan ketertiban di Jawa (Ricklef, 2001: 179) Campur tangan VOC dalam masalah suksesi ini memungkinkan raja yang tanpa pendukung dapat menjalankan pemerintahannya secar efektif dan “legitimate”. VOC dapat melindungi dan menjamin kelangsungan tahtanya, tetapi tidak dapat membuatnya diakui (legitimate) oleh rakyat. Sebagaimana kasus di Eropa VOC percaya bahwa raja memiliki kuasa absolute. Karena itu untuk menegakkan stabilitas, VOC cenderung mendukung penguasa yang tidak memiliki hak sah atau kemampuan memerintah, tetapi dapat dikendalikan oleh VOC. Dalam hal ini VOC hanya memperburuk keadaan di Jawa.
Tahun 1680 VOC harus menarik kekuatan militernya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. VOC merasa telah cukup menggelar operasi militer dan kondisi stabil agaknya akan tercapai. Namun demikian hal itu tidak sesuai harapan, konflik di dalam istana tidak pernah berhenti dan selalu menyeret VOC untuk kembali terlibat dalam masalah suksesi Jawa, sehingga VOC dipaksa selalu menyiagakan pasukan militernya. Harus diakui bahwa hal itu menuntut biaya yang sangat besar dan inilah yang menggerogoti keuangan VOC sepanjang abad ke-18
3. Perang Jawa
Sejak 1812 sampai 1825 perasaan tidak senang yang terpendam makin meningkat akibat beberapa persoalan. VOC masih melakukan campur tangan atas urusan-urusan istana khususnya urusan suksesi. Kehidupan di istana menjadi tidak kondusif, korupsi dan persekongkolan merajalela. Kedudukan istimewa orang-orang Eropa dan Cina makin jelas dengan makin luasnya konsesi sewa tanah yang didapat kedua kelompok bangsa ini. Tanah-tanah tersebut diubah menjadi perkebunan-perkebunan tebu, kopi, nila, dan lada. Tanah disewa dengan seluruh penduduknya untuk keperluan tenaga kerja di perkebunan dan pada perkebunan itu berlaku hokum Eropa bukan hokum adat local. Petani harus membayar pajak secara kontan. Perbedaan system ini “mengejutkan” petani sehingga ketika tidak tersedia dana pada saat harus membayar pajak, para petani cenderung meminjam uang kepada pengutang atau rentenir yang kebanyakan orang-orang Cina. Pengusaha perkebunan dan pachter (penyewa) pajak Cina memainkan peran penting terutama dalam hal perekonmian desa. Kondisi itu meningkatkanketegangan etnis Cina-Jawa. Sementara pada wilayah yang dikuasai penguasa Jawa kondisinya tidak jauh berbeda. Para petugas pajak juga bertindak sewenang-wenang. Dengan model demikian jumlah pendapatan Batavia dari pajak jalan di Yogyakarta mencapai tiga kali lipat dari tahun 1816-1824. Sementara jumlah pintu pajak yang banyak mematikan perdagangan local yang banyak dikuasai pribumi (Ricklefs, 2001: 252). Penderitaan akibat beban pajak dan kemiskinan mengakibatkan dislokasi sosial, gerombolan perampok semakin banyak dan makin banyak kasus perampokan, pencurian, pembegalan maupun perampasan. Pemakaian opium semakin meluas dan hanya menguntungkan pendapatan pemerintah colonial. Hampir 12% dari pendapatan pemerintah colonial berasal dari monopoli opium
dalam kurun 1827-1833 (Ricklefs, 2001: 253) Di tengah kondisi Jawa yang semakin kacau itu muncul seorang tokoh yang kelak sangat terkenal dalam sejarah Indonesia yaitu Dipanegara. Dipanegara adalah putra tertua Hamengkubuwana III. Dipanegara tumbuh besar dalam lingkungan kraton yang penuh konflik dan intrik selama pemerintahan Hamengkubuwana II. Masa kecil sampai masa remaja dihabiskan untuk tinggal dengan neneknya Ratu Ageng di Tegalreja sebuah tempat yang jauh dari istana Yogyakarta. Di Tegalreja Dipanegara mempelajari kitab-kitab Islam, karya sastra Jawa dan sejarah Jawa. Ia belajar di pesantren dan menolak datang ke istana yang tidak disukainya karena sudah tidak sesuai dengan budaya Jawa dan terpengaruh barat yang merusak. Sebagai seorang pangeran Dipanegara masih menjalin hubungan dengan para bangsawan baik di istana maupun di luar istana, ia juga menjalin hubungan dengan para ulama karena kedudukannya sebagai penganut tasawuf, dan sebagai penduduk desa ia juga dengan mudah berbaur dan menjalin hubungan dengan masyarakat. Dan karena kedudukannya sebagai pangeran senior maka dia juga memperoleh kesetiaan dari orang-orang yang tidak puas dengan kebijakan kraton. Hamper 20 tahun Dipanegara menunggu waktu untuk bergerak, dan selama masa itu pula pengikutnya kian bertambah seiring memburuknya situasi Jawa. Pada 1820-an mulai muncul pemberontakan-pemberontakan kecil. Tahun 1821 terjadi gagal panen padi dan berjangkit penyakit kolera untuk kali pertama. Tahun 1822 Hamengkubuwana IV wafat disertai tersebarnya rumor bahwa beliau meninggal karena diracun. Keadaan semakin kacau ketika terjadi perdebatan yang sengit dalam hal penunjukkan wali bagi putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia tiga tahun. Pada akhir tahun itu juga gunung Merapi meletus, orang Jawa menganggap bencana itu sebagai petanda buruk yaitu akan datangnya jaman kekacauan. Embrio pertempuran yang sudah tumbuh sejak 1808 telah mencapai masanya untuk meledak (Ricklef, 2001: 253-254)
Tahun 1823 Gubjen G.A.G. Ph. Van Der Capellen (1816-1826) mengeluarkan kebijakan baru untuk mengakhiri penyelewengan dalam urusan sewa tanah swasta di Jawa Tengah. Dia memerintahkan sewa tanah dihentikan. Praktis kebijakan itu memukul para bangsawan Jawa, mereka kehilangan sumber pendapatan selain harus mengembalikan uang muka yang telah dibayarkan oleh para penyewa baik Cina maupun Eropa. Hal tersebut tidak mudah karena pada umumnya uang muka sewa itu telah dibelanjakan. Kebijakan yang dirasa merugikan tersebut mendorong banyak bangsawan melancarkan pemberontakan.
Pada bulan Mei 1825 dibangun jalan raya baru dekat Tegalreja. Perselisihan terjadi antara pengikut Dipanegara dengan pengikut Patih Danureja IV ketika patok tanda jalan raya dipancangkan. Sejak saat itu ketegangan makin meningkat. Tanggal 20 Juli Belanda melancarkan ekspedisi untuk menangkap Dipanegara, pertempuran segera terjadi. Tegalreja diduduki dan dibakar, Dipanegara berhasil melarikan diri dan mengumumkan pemberontakan, Perang Jawa (1825-1830) dimulai (Ricklef,2001: 254). Gerakan itu dengan cepat menyebar ke seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun pusatnya tetap di seputar Yogyakarta. 15 dari 29 pangeran beserta 41 dari 88 bupati bergabung dengan Dipanegara. Sikap Surakarta tidak memihak meskipun berkecenderungan berpihak pada pemberontak, kelompok ulama jelas mendukung gerakan Dipanegara dengan pimpinan Kyai Maja. Dipanegara memakai gelar Erucakra sebagai pernyataan sebagai sosok “ratu adil” yang telah dinantikan, seorang raja adil yang akan menyelamatkan Jawa dari penindasan. Rakyat pedesaan mendukung Dipanegara dan membantu pasukan pemberontak. Pihak Belanda juga mendapat bantuan dari sekutu-sekutu kraton, terutama dari Legiun Mangkunegara, begitu pula para pengeran dari Madura dan sebagian besar pembesar Jawa.
Perang Jawa adalah upaya perlawanan kelompok elite bangsawan yang terakhir. Perlawanan itu adalah usaha mengembalikan keadaan sebelum meningkatnya kekuasaan konial tahun 1808. Luasnya lingkup gerakan sosial pendukung perlawanan yang dipimpin Dipanegara membuktikan dalamnya pengaruh penjajahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Jawa. Karenanya perlawanan itu tidak sekedar upaya mengusir orang asing dan memerangi istana yang dianggaptelah keluar dari norma dan tata nilai Jawa, tetapi upaya mengembalikan tata kehidupan sesuai dengan nilai dan norma orang Jawa untuk mengembalikan harmoni hidup. Akhirnya semangat spiritual dan cita-cita “mengembalikan impian masa lalu” harus berhadapan dengan dunia nyata yang materialis. Perlahan Belanda
berhasil membatasi ruang gerak Dipanegara dan kekalahan sudah di depan mata. Banyak penguasa local akhirnya berpihak kepada Belanda dan istana. Dan setelah 1830 hampir semua elite bangsawan berpihak kepada istana dan Belanda. Istana Jawa Tengah akhirnya menjadi bawahan Belanda yang patuh, nemun demikian rasa tidak suka menjadi “yang kalah” tetap ada di bawah permukaan. Perkara Perang Jawa membuat Belanda melakukan perubahan besar dalam hubunganya dengan kerajaan Jawa. Mempertahankan kesetiaan kaum bangsawan menjadi penting, karena itu anti feodalisme yang sebelumnya telah diterapkan Raffles dan Daendels melalui pembatasan hak-hak bangsawan ditinggalkan. Belanda kembali menjalin persekutuan dengan bangsawan pribumi, para bangsawan diperkenankan kembali menjalankan hak-hak feodalnya. Dengan cara demikian Belanda memperoleh kesetiaan para bangsawan sehingga dapat memperkecil kemungkinan munculnya gerakan perlawanan. [gs]