Masa Pendudukan Jepang di Indonesia - Pada jaman Hindia–Belanda kaum pergerakan kemerdekaan diklasifikasikan dalam dua golongan berdasarkan sikapnya terhadap pemerintah kolonial. Golongan pertama adalah golongan kooperator, yaitu mereka yang mau bekerja sama (berkooperasi) dengan pemerintah; dan golongan yang kedua adalah golongan non-kooperator yaitu mereka yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Bagi golongan terakhir ini, tidak mau bekerja sama dengan pemerintah dalam arti tidak bersedia menjadi pegawai negeri dan atau menjadi anggota semacam badan perwakilan seperti Dewan Rakyat. Dewan Kotapraja
dan sebagainya (Susanto T.;1984:21-22). Tokoh-tokoh dari golongan ini yang terkemuka antara lain Sukarno, Moh. Hatta, Cipto Mangunkusumo dan Sutan Syahrir Sebagai akibat dari sikap dan tindakannya yang tidak mengenal kompromi terhadap pemerintah kolonial maka dengan berbagai alasan antara lain mengganggu keamanan umum, menetang kekuasaan pemerintah, menyiarkan kabar bohong dan sebagainya, mereka ditangkap dan dijatuhi hukuman oleh pemerintah. Semula hukuman berupa hukuman penjara, tetapi kemudian Gubernur Jenderal dengan baik exorbitante rechtennya menindak kaum non kooperator yang dianggap berbahaya itu dengan hukuman penga-singan. Sukarno pada tahun 1933 diasingkan ke Endeh, Flores, kemudian pada tahun 1937 dipindahkan ke Bengkulu. Pada tahun 1934 Moh. Hatta dan Sutan Syahrir diasingkan ke Digul kemudian dipindahkan ke Bandanaira. Begitu pula Cipto Mangunkusumo sudah lebih dulu diasingkan ke Banda. Demikian-lah mereka dengan teguh memegang prinsip dan sikap perjuangan yang diyakininya dengan menerima segala resikonya.
Pada tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda runtuh dan kedudukanya digantikan oleh pemerintah Balatentara Jepang. Pada jaman pendudukan tentara Jepang itu ternyata diantara tokoh-tokoh non kooperator di atas tidak lagi memegang, azas non kooperasi. Mereka merubah sikap, bila pada jaman Hindia Belanda mengambil sikap non kooperasi maka pada jaman pendudukan Jepang bersikap koopersi. Perubahan sikap ini tentu sangat beralasan. Sehubungan dengan itu maka tulisan ini mencoba untuk mengungkapkan permasalahan tentang  alasan-alasan apakah yang mendorong terjadinya perubahan sikap itu.
Sikap bangsa Indonesia Terhadap Ancaman/Berbahaya Fasisme.
Sudah sejak awal abad XX Jepang menjadi imperialistis karena berbagai faktor; di antaranya Jepang menghadapi persoalan kepadatan penduduk, kemajuan industri-nya yang pesat dan adanya restriksi untuk berimigrasi ke Australia dan Amerika. Ekspansi teritorial yang dilakukan oleh Jepang setelah Perang Dunia I dihubungkan dengan suatu dokumen yang terkenal sebagai Tanaka Memoir (Rencana Tanaka). Dokumen itu memuat rencana ekspansi yang ternyata banyak kesesuaian dengan tindakan Jepang selanjutnya. Perlu dikemukakan bahwa Baron Tanaka yang membuat dokumen itu adalah Perdana Menteri Jepang yang memerintah antara tahun 1927 sampai 1929. Ekspansi teritorial Jepang itu dimulai dengan pendudukan daerah Manchuria (1931), Cina (1937) dan disusul dengan serbuan ke kawasan Asia Teng-gara (1941). Sebenarnya ancaman fasisme Jepang itu sudah diperkirakan oleh beberapa tokoh pergerakan Indonesia. Dr. Ratulangi (1928) dan Ir. Sukarno (1929) telah meramalkan bahwa pada suatu waktu kelak akan timbul perang besar di kawasan Pasifik, yaitu antara kekuatan Inggris, Amerika dan Jepang (Sukarno;1956:162-163). Di samping ancaman fasisme, dunia pun terancam oleh sikap agresif ekspansionis Jerman (Naziisme) Pergerakan politik di Indonesia pada umumnya berpendirian anti fasisme dan anti naziisme. Hanya tentang fasisme Jepang, terdapat perbedaan pendapat. Geribdo (Gerakan Rakyat Indonesia) sebagai pergerakan nasional sayap kiri berpendirian sesuai dengan azas anti fasismenya. Partai ini mengutuk fasisme Jepang. Sebaliknya Parindra (Partai Indonesia Raya) sebagai pergerakan sayap kanan ingin memakai kekuatan Jepang untuk memukul dan menghapuskan penjajahan Belanda. Untuk maksud itu Parindra tidak mau menentang imperialis Jepang yang makin hari terasa mengincar ke arah Indonesia (Alisastroamidjojo, 1974:120). Sikap tokoh-tokoh nasionalis radikal seperti Sukarno dan Moh. Hatta sudah jelas, mereka menunjukkan sikap anti militerisme dan anti fasisme terutama melalui tulisan-tulisannya. Pada tahun 1940, Sukarno dalam suratkabar Panji Silam menulis suatu artikel berjudul “Indonesia versus Fasisme”. Dalam tulisannya itu ia menegaskan bahwa jiwa Indonesia bertentangan dan tidak sesuai dengan jiwa fasisme. Jiwa Indonesia adalah jiwa demokrasi dan jiwa fasisme adalah jiwa anti demokrasi, jiwa anti kerakyatan (Sukarno:1963:457). Kemudian dalam artikelnya di dalam suratkabar Pembangun (1941) yang berjudul “Fasisme adalah politiknya dan sepakterjangnya kapitalisme yang menurun” , pada bagian akhir artikelnya itu ia menulis : ......... kalau karangan saya sekarang ini dapat membuka mata orang dan menanamkan benih benci kepada fasisme di dalam hati orang, maka sudah merasa puaslah saya di dalam hati..... (Sukarno; 1963:603). Sikap anti fasisme pada diri Sukarno nampak pula pada ucapannya. Dalam pembicaraan yang diadakan pada tahun 1938 di Bengkulu dengan seorang pembesar pemerintah yakni dr. L.G.M. Jaquet, ia mengemukakan bahwa penduduk pribumi apabila mengalami pendudukan Jepang akan menderita tekanan sosial ekonomi yang lebih berat dari pada keadaan di bawah pemerintahan Belanda (L. De Jong;1987:27-28). Sama halnya dengan Sukarno, Moh. Hatta juga menunjukkan sikap anti Jepang. Sebelum perang Pasifik, Hatta berkali-kali menyatakan dengan jelas agar waspada terhadap imperialisme Jepan. Setelah perang berlangsung ia mengulas pada surat kabar Pemandangan tanggal 22 dan 23 Desember 1941 bahwa Jepang memulai bahwa suatu kemenangan Jepang bagi Indonesia akan mengandung arti penghambaan dan perbudakan. Pada akhir karangnya ia menulis : .... Juga apabila kita akan mengetahui tentang kemungkinan bahwa Jepang akan menang, tetap akan terpikul di puncak kita kewajiban untuk bangkit mengenyahkan ancaman bagi tercapainya cita-cita kita. Lebih baik mati berdiri dari pada hidup berlutut.....Inilah arti dari perjuangan kita (L. De Jong: 17).
Berlawanan dengan sikap kaum pergerakan, rakyat Indonesia di pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh Jongko Joyoboyo. Rakyat percaya bahwa ramalan itu akan terjadi (A.G. Pringgodigdo;1978:153). Hal ini menunjukkan tanda adanya kepercayaan terhadap hari depan Indonesia yang gemilang. Jadi rakyat masih mempunyai penghargaan. Adanya pengharapan inilah yang menjadi landasan kuat bagi rakyat untuk tetap bertahan dalam penderitaan bagaimanapun beratnya seperti yang dialaminya pada jaman pendudukan Jepang. Demikianlah sikap bangsa Indonesia menghadapi ancaman fasisime/ militerisme yang mengancam dunia tidak seragam, sebagaimana tercermin dari sikap kaum pergerakan dan sikap rakyat di atas.[gs]