Periodisasi Praaksara

Periodisasi Praaksara - Pra-Aksara Indonesiamerupakan bagian awal dari sejarah kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu dengan mempelajari Pra-Aksara Indonesia diharapkan dapat mengerti dan memahami awal pertumbuhan kebudayaan bangsa Indonesia, terutama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Pra-Aksara Indonesia dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat masa kini. Selama ini terminologi Pra-Aksara Indonesia dipandang dalam pengertian yang terbatas. Padahal pengertian Pra-Aksara Indonesia tidak hanya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sejak saat hadirnya hominid yang pertama pada kala plestosen hingga saat manusia telah mengenal tulisan pertama pada sekitar abad 4-5 M. Dalam perkembangannya materi Pra-Aksara Indonesia ditambah dengan data-data etnoarkeologi terutama aspek tradisi Pra-Aksara yang masih bertahan dan berkembang hingga masa sekarang.

Pengetahuan tentang Pra-Aksara disistematisasikan berdasarkan bahan-bahan yang diperoleh selama ini. Beberapa pandangan tentang perkembangan kehidupan manusia Pra-Aksara telah diungkapkan oleh para pakar sejalan dengan ditemukannya banyak data arkeologi, khususnya bukti kehidupan Pra-Aksara, muncul berbagai masalah yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah yang sering menjadi kancah perdebatan para ahli adalah tentang konsep periodesasi Pra-Aksara. Seperti diketahui periodesasi Pra-Aksara merupakan sarana penting untuk memahami kehidupan Pra-Aksara. Dengan periodesasi tersebut diharapkan kehidupan Pra-Aksara dapat dijelaskan dalam dimensi ruang dan waktu.Beberapa model periodesasi Pra-Aksara telah disusun para ahli berdasarkan konsep tertentu.
a. Model Teknologi. Pembentukan periodesasi Pra-Aksara pertama kali dikemukakan oleh C.J. Thomsen dari Denmark pada tahun 1836. gagasan Thomsen ini disebut sistem tiga zaman (three age system) ysng membagi zaman Pra-Aksara menjadi: zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi. Dalam penerapannya kemudian sistem Thomsen dikembangkan menjadi sistem empat zaman dimana zaman batu dibagi menjadi zaman batu tua (paleolitik) dan zaman batu baru (neolitik). Akhirnya tesusunlah sistem lima zaman yang meliputi: paleolitik, mesolitik, neolitik, perunggu, dan besi. Contoh kerangka semacam ini telah disusun oleh G.C. McCurdy pada tahun 1925. Sistem pembagian zaman Pra-Aksara di Eropa Barat ini kemudian dikenal sebagai model teknologi yang terutama menaruh perhatian pada perkembangan teknik pembuatan alat kerja manusia.Setiap tingkat perkembangan ditandai oleh terciptanya alat dengan bentuk dan bahan pembuatan tertentu.m Model teknologi diterapkan di Indonesia atas prakarsa P.V.van Stein Callenfels (1934) dan dilanjutkan van der Hoop (1938), R von Heine Geldern (1945), dan akhirnya dimantapkan oleh H.R. van Heekeren (1955). Seperti halnya di Eropa, Pra-Aksara di Indonesia dibagi dalam beberapa tingkat teknologi yang memprioritaskan perkembangan kebudayaan material. Tingkat ini terdiri atas: paleolitik, mesolitik, neolitik, perunggu-besi (atau perunggu-besi digabung menjadi logam awal/paleometalik). Suatu tingkat khusus ditambahkan pada kronologi di Indonesia, yaitu tingkat megalitik. Tingkat ini diletakkan sejajar dengan neolitik dan paleometalik.
b. Model Sosial-Ekonomi. Model ini menitikberatkan pada problema sosial dan ekonomi yang akan dipecahkan melalui data Pra-Aksara. Suatu pendekatan yang memfokuskan pada kehidupan ekonomi telah dikemukakan oleh J.C.D. Clark tahun 1952. sementara itu pendekatan sosio-struktural telah dilakukan oleh v. Gordon Childe pada tahun 1958. fokus diletakkan pada kemajuan teknologi dan sosial masyarakat Pra-Aksara Eropa. Kemajuan sosial ini ditandai dengan adanya Revolusi Neolitik dan Revolusi Perkotaan. Cara pendekatan sosial-ekonomi ini disebut juga dengan model mata pencaharian hidup (subsistence model) yang membagi tingkat hidup menjadi berburu dan mengumpul makanan disusul oleh hidup bercocok tanam. Model inilah yang kemudian diluncurkan R.P. Soejono pada tahun 1970 sebagai model periodesasi Pra-Aksara Indonesia yang tersusun menjadi: masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana, masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Penerapan model sosial-ekonomi seringkali dilengkapi dengan makna perkembangan teknologi.
Aspek lingkungan merupakan salah satu unsur penting pembentuk suatu budaya masyarakat. Oleh karena itu untuk mengetahui kehidupan manusia Pra-Aksara Indonesia tidak dapat terlepas dari kondisi bentang alam dimana manusia Pra-Aksara melangsungkan kehidupanya. Seperti diketahui manusia masa Pra-Aksara masih sangat menggantungkan hidupnya pada alam, sehinga hubungan yang begitu dekat antara manusia dengan lingkungan membawa konsekuensi bahwa manusia harus senantiasa beradaptasi dengan lingkungan yang ditempati. Sejak awal kehadiran manusia plestosen di muka bumi ini senantiasa diikuti oleh peristiwa alam yang tentu saja berpengaruh terhadap ekologi manusia Pra-Aksara yang menghuni pada kala tersebut.
  1. Lingkungan Alam Kala Plestosen. Kala plestosen merupakan bagian masa geologi yang paling muda dan paling singkat. Akan tetapi bagi sejarah kehidupan manusia, kala ini merupakan masa yang paling tua dan terpanjang yang dilalui manusia. Kala Plestosen berlangsung kira-kira 3 juta sampai 10 ribu tahun yang lalu (Soejono 1984). Pada kala ini telah terjadi beberapa kali perubahan iklim. Secara umum pada masa itu terjadi glasiasi (jaman es), dimana suhu bumi turun dan glester meluas di permukaan bumi. Pada kala plestosen terjadi 4 kali masa glasial yang diselingi 3 kali masa interglasial dimana suhu bumi naik kembali (Bemmelen 1949). Pada saat itu didaerah dekat kutub terjadi pengesan, dan di daerah tropis yang tidak kena pengaruh pelebaran es keadaannya lembab, termasuk Indonesia terjadi musim hujan (pluvial) dan pada waktu suhu naik terjadi musim kering atau antarpluvial. Pada kala plestosen ini bagian barat kepulauan Indonesia berhubungan dengan daratan Asia Tenggara sebagai akibat dari turunnya muka air laut. Sementara itu kepulauan Indonesia bagian timur berhubungan dengan daratan Australia. Daratan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dengan Asia Tenggara disebut daratan Sunda (di masa antarglasial merupakan paparan Sunda atau Sunda shelf), dan daratan yang menghubungkan Papua dengan Australia disebut daratan Sahul (di masa antarglasial merupakan paparan Sahula atau Sahulshelf). Semua peristiwa alam tersebut di atas langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi cara hidup manusia. Fosil-fosil manusia yang pernah ditemukan di Indonesia diketahui berdasarkan susunan lapisan tanah.Berdasarkan hasil penelitian terhadap susunan lapisan tanah dan batuan menunjukkan bahwa kronologi plestosen di Jawa dibagi atas 3 bagian, dari tua ke yang muda ialah pestosen bawah, plestosen tengah dan plestosen atas (Heekeren 1972). Endapan plestosen bawah terkenal dengan formasi Pucangan, plestosen tengah disebut formasi Kabuh, dan plestosen atas dikenal sebagai formasi Notopuro. Masing-masing formasi tersebut menunjukkan adanya jenis-jenis fauna tertentu. Formasi Pucangan ditemukan fauna Jetis. Formasi Kabuh mengandung temuan fauna Trinil. Sedangkan formasi Notopuro dijumpai fauna Ngandong (Soejono 1984).
  2. Lingkungan Alam Kala Holosen. Kala holosen berlangsung kira-kira antara 10.000 tahun yang lalu hingga sekarang. Pada kala ini kegiatan gunung api, gerakan pengangkatan, dan pelipatan masih berlangsung terus. Sekalipun pengendapan sungai dan letusan gunung api masih terus membentuk endapan aluvial, bentuk topografi kepulauan Indonesia tidak banyak berbeda dengan topografi sekarang. Perubahan penting yang terjadi pada awal kala holosen adalah berubahnya iklim. Berakhirnya masa glasial Wurm kira-kira 20.000 tahun yang lalu menyebabkan berakhirnya musim dingin dan berakhir pula zaman es. Iklim kemudian menjadi panas dan terjadilah zaman panas dengan akibat semua daratan yang semula terbentuk karena turunnya muka air laut, kemudian tertutup kembali, termasuk paparan Sunda dan Sahul seperti dikenal sekarang. Pengaruh fenomena itu terhadap kehidupan di antaranya berupa terputusnya hubungan kepulauan Indonesia dari daratan Asia Tenggara dan Australia. Akibat terputusnya wilayah Indonesia dari daratan Asia dan Australia pada masa akhir masa glasial Wurm, terputus pula jalan hubungan hewan di wilayah tersebut. Hewan-hewan yang hidup di pulau-pulau kecil kemudian hidup terasing, dan terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, dan beberapa diantaranya kemudian mengalami evolusi lokal. Perbedaan unik yang terdapat di antara fauna vertebrata di wilayah tersebut menyebabkan disarankannya oleh para ahli tentang adanya garis-garis yang memisahkan berbagai keompok fauna veterbrata, yaitu kelompok yang mirip dengan fauna daratan Australia. Garis pemisah fauna tersebut adalah garis Wallace, garis Weber, dan garis Huxley. Pada kala Holosen, iklim di daerah tropik dan di Indonesia khususnya telah menunjukkan persamaan dengan iklim sekarang.Iklim sekarang ini merupakan tingkat awal dari masa glasial dan pluvial kelima.[gs]