Reaksi Rakyat Indonesia terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda - Pada abad ke-19 muncullah perlawanan-perlawanan besar terhadap pemerintahan kolonial Belanda, antara lain :
Perlawanan Rakyat Maluku di Bawah Thomas Matullesi (1817)
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi sejak abad ke-17, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Thomas Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi semenjak kekuasaan VOC, juga dikarenakan:
- Sebab Ekonomis, yakni: (1) Adanya tindakan-tindakanpemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti sistem penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gabagaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi, (2) Beredarnya uang kertas, yang rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan seharihari.
- Sebab Psikologis, yaitu: (1) Adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan Sekolah dan Gereja, dan (2) Pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia.
Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu, rakyat Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang benteng Belanda Duurstede di Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Dengan kekalahan Belanda, memperbesar semangat perlawanan rakyat, sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817 di bawah pimpinan Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti Saba. Situasi pertempuran berbalik setelah kedudukan Belanda makin kuat, lebih-lebih setelah datangnya bala bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan makin mereda setelah banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie Rheebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi. Dalam perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu.
Pada tanggal 16 Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan seperjuangannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah.
Perlawanan Kaum Paderi (1821-1838)
Perang Paderi melawan Belanda berlangsung pada tahun 1821 - 1838, akan tetapi gerakan Paderi sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Dilihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu :
- Periode 1803 - 1821, adalah masa Perang Paderi melawan adat, dengan corak keagamaan.
- Periode 1821 - 1838, adalah masa Perang Paderi melawan Belanda, dengan corak keagamaan dan patriotisme.
Gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Dalam kegiatan mereka, golongan mereka kemudian dikenal sebagai "kaum Paderi" yang ingin memperbaiki masyarakat Minangkabau, mengembalikan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Adat yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah kebiasaan-kebiasaan buruk sepeti menyabung ayam, berjudi, madat, dan minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda ( berdasarkan Konvensi London).
Perang Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda, dapat dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut.
- Periode 1821 -1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau, sebaliknya Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar, mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar ( Fort Van den Capellen).
- Periode 1825 - 1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
- Periode 1830 - 1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry, dan Elout; sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik, dan Tuanku Tambusi.
Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan "Pelakat Panjang", yang isinya antara lain :
- Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
- Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antarpenduduk,
- Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri,
- Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Memasuki tahun 1837 Belanda menjalankan "Siasat Pengepungan" terhadap benteng Bonjol. Benteng Bonjol akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya Belanda mengajak untuk berunding namun akhirnya Tuanku Imam Bonjol ditangkap (25 Oktober 1837), kemudian dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), tahun 1841 dipindahkan ke Menado hingga wafat tanggal 6 November 1864.
Setelah Imam Bonjol tertangkap, perlawanan kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi, dan akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda setelah seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda.
Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825 - 1830)
Pada permulaan abad ke-19 pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta makin bertambah kuat. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan-kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
- Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
- Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya, akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
- Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
- Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat.
Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan dikumandangkannya "Perang Sabil" di Surakarta oleh Kyai Mojo, di Kedu oleh Kyai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain; maka pada pertempuran-pertempuran tahun 18251826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak. Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda meng-gunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain:
- Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal De Kock mulai tahun 1827;
- Siasat bujukan, agar perlawanan menjadi reda;
- Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro;
- Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu persatu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain, Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827); Pangeran Serang dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827); Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829).
Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro. Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal De Kock, melakukan tipu muslihat dengan ajakan berunding, dan bila perundingan gagal, Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro bersedia berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830, namun akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, kemudian ke Manado, dan tahun 1834 dipindahkan ke Makasar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.
Perlawanan di Kalimantan Selatan (1859-1905)
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam urusan istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda akhirnya meletus menjadi perlawanan; ketika terjadi kericuan pergantian takhta Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Rakyat tidak mau menerima, sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi rakyat. Pertempuran rakyat melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini antara lain, Kyai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kyai Langlang. Pasukan Antasari yang berjumlah sebanyak 3.000 orang menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kyai Demang Leman dan Haji Buyasin, pada bulan Agustus 1859 berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio.
Sementara pertempuran terus berlangsung, Belanda memecat Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi, karena menolak untuk menghentikan perlawanan. Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan Sultan kosong (karena Sultan Tajidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan jabatan Mangkubumi dihapuskan. Dengan demikian Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda.
Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas dan Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini Belanda mengalami kesulitan; namun setelah mendapatkan bantuan dari luar; akhirnya Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin, akhirnya gugur dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862.
Setelah gugurnya Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.
Perlawanan di Bali (1846-1905)
Di Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan "hak tawan karang" . Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja Klungklung dan Badung (1841). Raja Buleleng dan Karangasem (1843). Akan tetapi kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan disambut dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelentik, yang telah mempersiapkan pasukannya di benteng Jagaraga, sehingga dikenal dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun kedua, menye- Eksplorasi babkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan, kemudian. menimbulkan Perang Jaga-raga II. Perang berlangsung selama dua hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849)
dan menunjukkan semangat perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda. Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten; kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin mereka termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.
Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan masih terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada di bawah kekuasaan Belanda.
Perlawanan di Aceh (1873 - 1904)
Dari berbagai perlawanan yang terjadi di Kepulauan Nusantara, tampaknya perlawanan di Aceh merupakan perlawanan yang menarik dan berlangsung lama. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra ( yang ditandatangani antara Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh. Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan Turki, konsul Italia, dan bahkan dengan konsul Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda, karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghirau-kannya. Selanjutnya pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh. b. Jalannya Perlawanan
Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah menduga dan melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmud Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda. Tampillah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar, dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah. Sementara itu ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879, maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti tentang kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama "Abdul Gafar", ia berhasil masuk Aceh. Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul "De Acehers" (Orang Aceh). Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa: (a) Sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya, (b) Ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik "devide et impera (memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh: (a) kaum ulama yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata, (b) kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korp pamong praja di lingkungan pemerintahan kolonial. Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku Umar memimpin 250 orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian bersekutu dengan Panglima Polim menghantam Belanda. Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.
Sementara itu Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah.
Pada tahun 1904, Aceh dipaksa untuk menandatangani "Plakat Pendek" yang isinya :
- Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
- Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan Belanda.
- Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.[gs]