Agama dan Religi pada Suku Bangsa di Indonesia

Agama dan Religi pada Suku Bangsa di Indonesia - Indonesia memiliki keranekaragaman suku bangsa yang tiada bandingannya di dunia. Masing-masing suku bangsa memiliki ragam budaya dan upacara yang telah mengakar dalam masyarakat yang bersangkutan sejak ribuan tahun yang silam. Dari serangkaian penemuan prasejarah yang ada di berbagai tempat, kita bisa membuktikan bahwa manusia prasejarah pun telah mengenal beragam bentuk religi atau upacara keagamaan. Di berbagai daerah ditemukan benda-benda prasejarah dari zaman megalitikum yang bisa menunjukkan kepada kita bagaimana upacara tersebut dilaksanakan.

Dalam perkembangannya, pelaksanaan upacara dan religi tersebut masih dilanjutkan oleh berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Serangkaian ritual dan upacara dilaksanakan dalam berbagai tahap kehidupan manusia, mulai dari kelahiran hingga kematian. Menurut kepercayaan primitif, mereka percaya adanya roh nenek moyang. Oleh karena itu, mereka mengadakan serangkaian upacara tertentu dengan sesaji dan menaati peraturan atau norma yang berkaitan dengan upacara tersebut. Seperti halnya yang dilakukan oleh suku bangsa Dayak, mereka mengenal adanya hatallah atau mahatarayaitu pembentuk dunia manusia dan manusia. Dengan melakukan aktivitas tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa suku bangsa primitif pun telah memiliki agama dan kepercayaan.
Apa saja macam kepercayaan yang ada di Indonesia? Untuk lebih jelasnya, bisa kamu baca pada deskripsi berikut ini. Manusia primitif sering melihat kejadian yang luar biasa, sehingga menganggapnya mempunyai kekuatan gaib. Karena memiliki kekuatan gaib, maka peristiwa itu bisa memengaruhi manusia dan alam sekitarnya. Dalam istilah etnologi, kekuatan tersebut disebut dengan mana (berasal dari bahasa Sanskerta). Dalam bahasa Jawa, kekuatan gaib yang dimiliki manusia biasa disebut dengan kasekten (berasal dari Sanskerta caktiyang berarti kekuatan). Suku bangsa Mentawai mengenal kere, yaitu manusia yang memiliki mana. Setiap manusia dianggap memiliki mana, hanya saja tingkatannya bermacam-macam. Yang dianggap memiliki mana lebih adalah para dukun dan pemimpin adat. Dalam perkembangannya, kepercayaan itu juga dianut oleh orangorang pada masa berikutnya. Orang tidak berani menyebutkan nama rajanya karena merupakan larangan. Kalau menyebut nama raja, mereka yakin akan mengalami musibah atau malapetaka. Oleh karena itu, mereka menyebut raja dengan ”Sri Paduka” atau kalau dalam masyarakat Jawa raja disebut dengan ”Sampeyan Dalem”. Menyebut nama raja merupakan larangan atau tabu (tabu berasal dari bahasa Polinesia, sedangkan dalam bahasa Sunda disebut pamali, dalam bahasa Badui disebut buyutatau pantangan dalam bahasa Indonesia).
Salah satu bentuk dinamisme yang biasa dijalankan oleh masyarakat primitif adalah magi, yaitu menjalankan aktivitas dengan menggunakan kekuatan alam atau benda yang ber-mana. Ada beberapa bentuk magi, antara lain sebagai berikut. Pertama, magi imitatif. Magi jenis ini berdasarkan perbuatan tiruan. Fenomena alam diyakini bisa dipengaruhi dengan perbuatan-perbuatan yang menyerupai keadaan yang sebenarnya. Misalnya, untuk bisa mendatangkan hujan, maka orang akan membuat asap supaya membentuk mega. Atau agar bisa membunuh musuhnya, manusia membuat orang-orangan kemudian ditusuk atau dipukul. Kedua, magi analogi. Magi ini memengaruhi alam dengan perbuatan yang bisa menyebabkan suasana atau keadaan yang sebenarnya. Misalnya untuk memudahkan atau mempercepat kelahiran pada ibu yang sudah hamil tua, maka semua benda yang terbuka atau terikat harus dibuka.
Ketiga, magi bahasa. Magi ini menggunakan bahasa untuk bisa memengaruhi keadaan. Misalnya, untuk mempercepat perkawinan, di tanah Melayu diadakan upacara berpantun. Komunikasi antara kedua belah pihak dianggap bisa menyebabkan menyebabkan munculnya kekuatan gaib. Pantun yang dibacakan biasanya berisikan pantun asmara atau petuah-petual orang tua.
Animisme berasal dari kata anima yang berarti nafas atau nyawa. Menurut E.B. Tylor, animisme adalah bentuk agama yang tertua. Ada beberapa macam kepercayaan pada bangsa primitif di Indonesia. Misalnya kepercayaan terhadap kekuatan yang dimiliki manusia baik yang telah meninggal atau yang masih hidup dan kepercayaan terhadap segala benda yang ada di sekitarnya.
  • Ruwatan pada Masyarakat Jawa. Ruwatan adalah upacara pengusiran roh yang berlaku pada suku bangsa Jawa. Tujuannya untuk membebaskan korban atau calon korban agar tidak dimangsa Batara Kala. Pelaksanaan ritual ini didasarkan pada lakon wayang Murwakala, sebuah naskah lama yang diambil dari kitab Tantu Panggelaran pada akhir abad XV. Orang atau anak yang diancam Batara Kala memiliki ciri-ciri tertentu. Biasanya anak yang menempati posisi khusus dalam sebuah keluarga. Misalnya, anak tunggal, anak kandung lima sampai enam bersaudara atau yang dikenal dengan sendang kapit pancuran (anak perempuan di antara dua anak laki-laki dalam satu keluarga), pancuran kapit sendang(anak laki-laki di antara dua anak perempuan), dan lain-lain. Anak-anak itu dalam budaya Jawa dikenal sebagai anak sukerta. Upacara pengusiran roh jahat bisa dilakukan dengan menggelar wayang kulit dengan tema Murwakala. Untuk melaksanakan upacara Murwakala, diperlukan persiapan yang matang agar terhindar dari segala pengganggu. Religi itu merupakan sesuatu yang suci, sehingga diperlukan sesajen untuk disajikan kepada para dewa dan danyangpenunggu tempattempat tertentu. Tokoh wayang yang akan digunakan dihias secara khusus dengan dilengkapi air suci dan kemenyan. Tokoh wayang yang dipilih biasanya putera dan puteri Arjuna atau Bima, misalnya Wisanggeni. Selama pergelaran wayang Murwakala, batas antara dunia mistis dengan dunia nyata terhapus. Keluarga yang memiliki anak sukerto juga ikut menyatu dalam mitos.
  • Owasa pada Masyarakat Nias. Owasa adalah perayaan keselamatan yang dilaksanakan oleh bangsawan Nias. Status bangsawan Nias biasanya ditentukan oleh emas permata yang dimilikinya. Untuk menahbiskan kedudukannya, bangsawan harus mengumpulkan babi dan menyembelihnya. Setelah menyelenggarakan upacara owasa, bangsawan akan memperoleh gelar baru dengan hak-hak istimewa. Gelar itu dalam masyarakat Nias disebut si’ulu. Dalam perayaan itu, setiap orang akan saling mengalahkan dalam hal menyediakan hewan babi. Semakin banyak babi yang ia sediakan, semakin tinggi pula kedudukan dan martabat yang akan ia peroleh. Selanjutnya, daging babi yang telah disembelih itu dibagikan kepada masyarakat sesuai dengan tingkat dan golongannya. Semakin banyak yang ia bagikan semakin terhormat pula ia di mata masyarakat.
  • Puliaijat pada Masyarakat Siberut. Masyarakat Siberut memiliki kepercayaan bahwa setiap benda, baik berbentuk manusia, hewan, tumbuhan atau benda lainnya, mempunyai jiwa (dalam bahasa setempat disebut dengan simarege). Mereka percaya bahwa benda-benda itu memiliki kegunaan sendiri-sendiri dan harus digunakan sesuai dengan fungsinya. Oleh karena itu, segala ketentuan yang berkaitan dengan benda tersebut harus dipatuhi. Apabila manusia melanggar ketentuan tersebut, kekuatan gaib yang ada pada benda tersebutb (dalam bahasa setempat disebut bajou) akan bangkit. Kekuatan yang bangkit inilah yang akan menyebabkan penderitaan (sakit, mati, dan lain-lain) pada manusia. Oleh karena itu, mereka menyelenggarakan upacara yang berfungsi memanggil semua kekuatan yang baik dan mengusir segala kekuatan yang jahat. Untuk bisa melakukan upacara ini, masyarakat perlu bantuan para dukun. Upacara ini dalam kebudayaan setempat dikenal dengan puliaijat. Saat pelaksanaan upacara ini, masyarakat Siberut menghentikan seluruh aktivitas kehidupannya. Mereka mempersiapkan sebuah jamuan untuk diri dan jiwa mereka. Mereka mengundang roh leluhur sebagai tamu, meminta perlindungannya, dan menikmati pesat bersama. Perayaan puliaijat dalam masyarakat Siberut terbagi menjadi beberapa tahap. Antara lain sebagai berikut. 1) Daging babi dibagi-bagikan pada suatu pesta besar keagamaan oleh para penghuni uma (rumah). 2) Pemimpin upacara memukulkan pelepah daun aren pada awal upacara, sebagai tanda kesatuan uma. 3) Seluruh peserta upacara berhias dengan menggunakan janur. 4) Para dukun mengusir kekuatan jahat dari dalam uma. 5) Para dukun mengundang arwah leluhur untuk bergabung dengan yang masih hidup. Pada akhir upacara, mereka meminta berkah kepada para roh leluhur agar diberi kemudahan dalam berburu di tengah hutan. Karena mereka yakin bahwa keberhasilannya dalam berburu sangat ditentukan oleh kemurahan para roh tersebut.
Itulah beberapa contoh perilaku keagamaan yang ada di berbagai suku bangsa di Indonesia. Perilaku keagamaan di atas masih banyak diwarnai oleh peninggalan budaya Austronesia. Kamu tentu bisa menunjukkan perilaku yang lain. Kamu bisa mencari perilaku keagamaan yang dijalankan para pemeluk agama yang ada di sekitar tempat tinggalmu.[gs]