Perlawanan Kesultanan Ternate-Tidore (Maluku)

Perlawanan Kesultanan Ternate-Tidore (Maluku) Kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol di Maluku pada tahun 1521 khususnya Ternate dan Tidore bukan hanya memonopoli perdagangan rempah-rempah, tetapi melakukan kekerasan militer dan pemaksaan terhadap rakyat Ternate dan Tidore. Selain itu juga terjadi pelanggaran perjanjian persahabatn dan dagang antara Sultan Khairun (Ternate) dengan Gubernur Portugis de Mesquita pada tahun 1564 yang menganggap Sultan Khairun berada di bawah jajahan Portugis (Djaelani 1999). Walaupun persetujuan perjanjian tersebut diperbaharui, dengan menyebutkan bahwa hak-hak sultan diakui, namun Portugis tetap berhak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate, usaha kristenisasi tidak boleh dihalang-halangi dan jika terjadi perselisihan antara sultan dengan gubernur, maka raja Portugis yang berhak menyelesaikan. Setelah satu tahun perjanjian tersebut dilaksanakan, Sultan Khairun kehilangan kesabarannya dan membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut serta sekaligus menyatakan perang kepada Portugis yang diakibatkan perlakuan Gubernur de Mesquita yang menganggap kesultanan Ternate sebagai daerah jajahan saja. Keputusan ini dilanjutkan dengan tindakan militer yaitu pasukan Sultan Khairun dan rakyatnya diperintahkan mengusir semua orang Kristen, baik Portugis maupun penduduk asli, dari kekuasaan Sultan Ternate. Hal ini menimbulkan pertempuran yang mengakibatkan banyak korban dan ribuan orang Portugis serta rakyat yang beragama Kristen sempat melarikan diri ke Ambon dan Mindanao.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Gubernur de Mesquita dan pimpinan missionaris, sehingga meminta bantuan dari Malaka dan Goa. Datangnya bantuan tersebut tidak menyebabkan pasukan tentara di bawah pimpinan Sultan Khairun menjadi gentar, bahkan menumbuhkan semangat untuk mati syahid di medan pertempuran, pertempuran yang gagah-perkasa dari pasukan tentara Ternate ini, mengakibatkan kerugian yang besar bagi pasukan tentara Portugis sampai Portugis mengajak untuk berdamai.
Sultan Khairun menerima ajakan berdamai dengan syarat semua pemeluk agama Kristen harus keluar dari Ternate dan kembali ditandatangin oleh Sultan Khairun dan Gubernur de Masquita. Sebagai bentuk peresmian perjanjian perdamaian, maka Gubernur mengadakan resepsi di tempat kediaman Gubernur pada tanggal 28 Februari 1570. Namun pada saat resepsi berlangsung seorang pengawal dari tentara Portugis telah menikam Sultan dan menimbulkan pertikaian. Pertikaian berdarah tersebut mengakibatkan Sultan Khairun dan sebagian rombongannya meninggal dunia (Djaelani 1999).

Peristiwa penikaman tersebut menimbulkan kemarahan Pangeran Babullah, putera Sultan Khairun di Ternate dan mengangkat pangeran menjadi Sultan Ternate untuk menggantikan ayahnya. Pasukan Sultan Babullah bergerak untuk menghancurkan benteng pertahanan Portugis di Ternate dan di Ambon dengan dibantu oleh Sultan Tidore. Tentara Portugis menyerah kepada Sultan Babullah pada akhir tahun 1575 setelah bentengnya terkurung selama 5 tahun dan tidak mendapat bantuan dari tentara Portugis yang didatangkan dari Malaka dan Goa akibat tidak mampu menembus blokade pasukan Sultan Ternate.[gs]