Kerajaan Arungkeke di Jeneponto

Kerajaan Arungkeke di Jeneponto - Sebelum kedatangan bangsa Eropa terutama Belanda di Sulawesi Selatan, pemerintahan setiap daerah berbentuk kerajaan dan di perintah oleh seorang raja di setiap kerajaan yang ada pada waktu itu. Pada kelompok kerajaan yang berlatar etnis Makassar, melalui literatur sejarah, relatif hanya memperkenalkan tentang Kerajaan Gowa dan Tallo sebagai pioner kerajaan Makassar. Adpun kerajaan-kerajaan lainnya yang termasuk kerajaan ketegori kerajaan kecil bahkan pernah menjadi wilayah pemerintah bagian dari kerajaan besar Gowa-Tallo tidak lagi dikenal. Kerajaan seperti Labakkang di Pangkejene dan kepulauan, Tanrilili, Simbang dan Marusu di Maros, Kerajaan Bantaeng, dan kerajaan lokal di Takalar. Demikian halnya di Jeneponto yang mempunyai banyak kerajaan-kerajaan lokal seperti Garassi, Bangkala, Binamu, Tarowang, Sapanang, Arungkeke dan lain-lain, justru tenggelam di bawah kebesaran nama Kerajaan Gowa-Tallo.
Badik salah satu pusaka Kerajaan Arungkeke
Riwayat beserta catatan sejarah kerajaan-kerajaan (Wanua) tersebut pada masa kini praktis hanya di kenal melalui suguhan informasi yang sangat kurang bahkan dapat dikatakan sangat minim. Padahal, pada sisi lain setiap kerajaan dalam skala kekuasaan sekecil apapun pasti memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, demikian halnya dengan daerah Jeneponto yang pada masa lampau merupakan sebuah kerajaan. Pastilah kerajaan ini mempunyai keunikan dan eksotisme sejarah dan budaya tersendiri yang sepatutnya mendapat ruang historis yang wajar.
Jeneponto atau lazim disebut Turatea dahulu adalah sebuah Kerajaan Makassar yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri, yang didalamnya terhimpun enam kerajaan lokal (Palili) yaitu Garassi, Bangkala, Binamu, Arungkeke, Tarowang dan Sapanang serta 16 kampung atau domain ( Caldwell dan Bouges, 204 dalam Hadrawi 2008:8). Kemudian disisi lain Jeneponto beserta seluruh kerajaan-kerajaan lokalnya memiliki sejarah awal kemunculannya menjadi sebuah kerajaan serta perjalanannya hingga berinteraksi dengan agama Islam.
Umumnya pada abad ke-XVII selain Arungkeke pada abad ini pula terdapat beberapa kerajaan yang eksis, diantaranya kerajaan Gowa, Balanipa (Mandar), Sanrobone (Takalar), Bulo-bulo (Sinjai), Binamu (Jeneponto), dan Suppa. Kerajaan Arungkeke merupakan kerajaan didaerah Turatea yang eksis pada abad ke-XVII, dimana secara geografis, Arungkeke terletak di pesisir pantai selatan Sulawesi Selatan. Wilayah Kerajaan Arungkeke diapit oleh dua Wanua, yaitu Palajau di sebelah barat dan Togo-Togo di sebelah timur. Dahulu bentuk pemerintahan di Butta Turatea, berbentuk pemerintahan “Kare” (Tompo, 2001:6). Sekarang ini wilayah Arungkeke merupakan sebuah daerah kecamatan dalam pemerintah Kabupaten Jeneponto. Didaerah ini mempunyai nilai-nilai historis masa lalu yang sangat tinggi serta nilai budaya siri na pacce masih dijaga. Didaerah ini juga menjunjung tinggi adat istiadat dari leluhurnya. Salah satu contohnya yakni tradisi adengka aselolo atau pesta panen yang diadakan di Balla Lompoa atau istana Arungkeke.
Sebagai salah satu kerajaan yang ada didaerah Jeneponto dahulu, Kerajaan Arungkeke mempunyai peranan yang cukup strategis dalam menentukan dan menciftakan suasana kondusif di wilayah kekuasaannya. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, yang memungkinkan kerajaan ini disegani. Disamping itu dari catatan silsilah raja-raja Arungkeke, kebangsawan serta kekerabatan raja-rajanya punya hubungan dengan kerajaan di sekitar wilayah Turatea juga punya hubungan dengan kerajaan-kerajaan diluar. Diantaranya dapat dilihat dari silsilah Arungkeke, dimana terdapat integrasi kebangsawanannya dengan Tarowang dan Boengoeng, Karaeng Tarowang bernama Patta Dulung Aroeng Areoojoeng yang menikah dengan Maryam Daeng Rawang Karaeng Rawang dan melahirkan lia orang anak (Hadrawi, 2008:68-69).
Thalib (2010: 1-2) mengemukakan stratifikasi sosial masyarakat di daerah Arungkeke dimasa lalu yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Berikut susunan strata sosialnya: Karaeng tugasnya adalah menjalankan pemerintah pemerintahan kerajaan, perdana mentri.
Ketika kita berbicara mengenai sejarah kenegaraan atau asal-usul institusi sosial masyarakat itu berawal dari suatu kontrak sosial dan perjanjian pemerintahan dengan rakyat. Dari pihak pemerintah diwakili oleh Tumanurung. Sehubungan dengan perjanjian antara pemerintah dengan rakyat dapat diungkap pada kutipan Prof. Dr. Hamid Abdullah (1991:80-81):
“bahwasanya engkau telah angkat kami sebagai rajamu, kami bersabda dan engkau tunduk patuh, kami adalah angin dan engkau adalah daun kayu”, “bahwasanya kami telah mengangkat engkau raja kami, engkau adalah raja dan kami adalah hamba rakyat tuanku, kami tidak akan tertikam oleh senjatamu dan engkau tidak akan tertikam oleh senjata kami”. “bahwasanya  kami mempertuan engkau, hanya pribadi kami, bukan harta benda kami”. “raja tidak akan memutuskan hal-ikhwal didalam negeri jika Gallarrang tidak hadir, dan Gallarrang tidak akan mengambil keputusan soal perang, jika raja tidak hadir”.
Begitulah perjanjian pemerintah atau kontrak sosial antara penguasa dan rakyat. Dalam perjanjian itu telah digariskan dengan jelas hak seorang penguasa atau raja dan kewajiban rakyat terhadap rajanya. Berdasar dari kutipan diatas, yang merupakan suatu perjanjian antara raja dengan rakyat, maka tertutuplah kemungkinan minculnya suatu golongan yang mempunyai kekuatan mutlak dan kemungkinan akan mempraktikkan sistem kekuasaan atau sistem politik.
Di Sulawesi Selatan akan kita jumpai banyak gelar untuk raja, antara lain datu, Batara, Tomanurung, Karaeng, Arung dan sebagainya. Jadi tidak mengherankan karena di Sulawesi Selatan terdapat banyak kerajaan pada masa lalu. Di Butta Turatea sendiri pada umumnya mereka menyebut pemimpin mereka dengan gelar “Karaeng”.(abdullah, 1991:30).
Kerajaan Arungkeke merupakan kerajaan yang berdiri sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah-daerah di Nusantara ini khususnya di Sulawesi Selatan masih berbentuk kerajaan-kerajaan. Sehingga tidaklah mwngherankan jikalau pelopor-pelopor atau tokoh-tokoh yang akan memimpin suatu kerajaan adalah berdasarkan garis keturunan atau ahli waris dari kerajaan itu sendiri. Telah menjadi anggapan umum masyarakat tradisional Sulawesi Selatan dimasa lampau, bahwa raja-raja dan cikal bakal raja yang memerintah adalah titisan darah dari Tumanurung, seperti yang dikemukakan Mattulada (1998:27) bahwa:
Kisah Tumanurung itu merupakan awal terbentuknya kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan Tomanurung inilah Sulawesi selatan mengalami perkembangan kemasyarakatan, kenegaraan dan kepemimpinan bidang-bidang kehidupan politik, ekonomi dan sosial yang memulai kecenderungan spesialisasi fungsi-fungsi dan peranan-peranannya.
Sehingga Tumanurung ini harus disegani dan dipatuhi sebagai manusia pembawa ketentraman. Kehadiaran Tomanurung dipercaya berasal dari Kayangan(tempat dewata) yang turun ke bumi untuk memerintah di Buttaya (kerajaan). Kehadiran Tomanurung dimaksudkan untuk bertindak sebagai juru selamat, menciftakan ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia (Sewang, 2005:155). Di beberapa daerah di Indonesia taredapat cerita yang bersumber dari historiografi tradisional tentang asal usul daerah tersebut, didalam sumber-sumber tersebut misalnya diceritakan bahwa sebelum terbentuknya suatu tatanan kehidupan yang teratur dalam daerah tersebut, keadaan krisis atau serba tidak menentu. Dalam keadaan yang demikian, maka sang Dewa menurunkan utusannya untuk memperbaiki keadaan krisis, utusan dewa tersebut kemudian menikah dengan wanita ataupun sebaliknya yang ada didaerah tersebut, dimana setelah turunnya utusan dewa, kemudian keadaan didaerah itu menjadi baik dan mulailah tersusun suatu pemerintahan atau kerajaan. Hasil perkawinan antar utusan Dewa dengan wanita yang dinikahinya ini kemudian menjadi pewaris atau silsilah penguasa kerajaan, dalam masyarakat Sulawesi Selatan cerita tersebut merupakan mitos Tumanurung (Mulyana, 2009:2).
Seperti halnya di Kerajaan Arungkeke, mitos Tumanurung masih di percaya bahwa sejarah Kerajaan Arungkeke diawali dengan munculnya wanita cantik (uru-urua) yang tidak diketahui asal-usul keberadaannya serta kematiannya tidak diketahui oleh masyarakat, jadi kuburannya pun tidak ada, sehingga masyarakat pada waktu itu menyebutnya Tumanurung (Manusia yangturun dari Khayangan). Toalu’ Daeng Taba’ turun di Kerajaan Arungkeke, tepatnya di bawah pohon Asam, dia ditemani oleh pengawal dan budaknya. Tumanurung ini memakai baju, Mahkota dari emas. Disamping itu ada juga peralatan yang dibawanya, antara lain Lesung, Alu dan beberapa perhiasan. Saat ia muncul ia menggunakan Lesung dan Alu dibawah pohon Asam, maka dari itu pelantikan raja Arungkeke dilakukan dibawah pohon asam sambil di ayun, disaat pelantikan itulah suara gendang dan alat-aalat musik lainnya yang berusia ratusan tahun diperdengarkan. Suara alat musik ini dikenal dengan nama Ganrang Talluna Arungkeke (Al-Maruzy, 2010:2).
Arungkeke juga sebuah kerajaan yang besar sama seperti Binamu, Bangkala dan Tarowang, dengan raja pertamanya yaitu seorang Tumanurung yang diberi gelar Ratu atau Karaeng Baine Toalu’ Daeng atau Karaeng Taba Karaeng Arungkeke. Kerajaan ini diperhitungkan kebesarannya khususnya di wilayah Turatea dan umumnya di wilayah Sulawesi Selatan sebagai kerajaan lokal dengan daerah kekuasaannya antara lain, meliputi Palajau, Bulo-bulo, Arungkeke Tamanroya, Arungkeke Pallantikang, Pettang dan satu kerajaan palili’ yaitu kerajaan Bungeng. Dalam konteks kerajaan lokal di Turatea, Arungkeke merupakan sebuah kerajaan yang memiliki wilayah pemerintahan tersendiri, situasi ini terjadi pada awal abad munculnya Arungkeke sebagai sebuah kerajaan (Hadrawi, 2008:68).
Namun pada perkembangannya, yaitu pada akhir abad ke-XVII, Arungkeke mengalami perubahan status sebagai kerajaan yang bernaung di bawah Binamu, sebagai domain atau daerah istimewa. Walaupun pada saat itu, kerajaan Arungkeke tidak bersedia ikut atau tunduk, sperti yang dikemukakan oleh karim (40) bahwa:
Pada waktu ada perubahan, bahwa Kerajaan Binamu akan dijadikan kerajaan besar, Kerajaan Arungkeke tidak mau ikut dibawah naungan Kerajaan Binamu. Berdaulat selama satu tahun dan selanjutnya rakyat Arungkeke baru mau bersatu karena keinginannya mau juga mendirikan kerajaan besar.[am]